Tuesday 27 July 2010

Tambang: Yes! Kebijakan dan Praktek Tambang Buruk: No!

Industri pertambangan NTT sedang menjadi sorotan akhir - akhir ini. Permasalahan kebijakan pertambangan yang tidak komprehensif hingga praktek pertambangan yang sarat pelanggaran hukum, bercampur aduk dengan kekuatiran akan dampak negatif lingkungan dan sosial pertambangan menjadi topik media massa dan diskusi para pemerhati. Bahkan tidak ketinggalan sekelompok tokoh agama menyeruhkan pembebasan NTT dari segala macam pertambangan (Pos Kupang Online, 12/7/10). Penulis berpendapat bahwa menyatakan tidak sama sekali untuk tambang di NTT, adalah pengkhianatan akan realitas dan sejarah peradaban manusia modern, dan tidak akan menyelesaikan persoalan secara efektif. Alih – alih memboikot kegiatan pertambangan di NTT, akan lebih konstruktif jika energi dan waktu diarahkan kepada advokasi desain kebijakan dan pengawasan praktek pertambangan untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan dampak negatif yang minimum.
Mengapa “say no to mine” adalah suatu bentuk pengingkaran realitas sosial dan cenderung suatu bentuk kemunafikan yang tidak menyelesaikan masalah? Tulisan ini akan mengelaborasi fakta ketergantungan umat manusia terhadap pertambangan. Selanjutnya disodorkan beberapa fakta bahwa pertambangan juga menjadi biang kerok degradasi kualitas lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, untuk meletakkan persoalan pada perspektif yang berimbang. Bagian ketiga memberi argumentasi tentang perlunya kebijakan industri pertambangan yang terintergrasi dengan strategi pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Karena menyeruhkan stop pertambangan tanpa memboikot produk tambang pada dasarnya adalah bentuk perlawanan setengah hati bahkan basa - basi.

Pertambanganan adalah soko guru peradaban manusia
Sulit dibayangkan apa jadinya kehidupan kita tanpa industri pertambangan, walau banyak orang alergi mendengar kata ”tambang”. Ibarat lagu ”benci tetapi rindu” bahkan ketagihan, itulah hubungan manusia dengan tambang. Betapa tidak, hampir tidak ada satupun sendi kehidupan modern terlepas dari kontribusi hasil eksploitasi isi perut ibu pertiwi. Bahkan sangat paradoksal ketika sementara orang menggunakan produk pertambangan untuk menfasilitasi advokasi anti tambang. Sebagai contoh, kita tidur di rumah yang dikonstruksi dengan batu, semen, logam, dan kaca, yang dilengkapi dengan perabotan lain yang selalu ada kandungan hasil tambangnya. Selanjutnya, sebelum keluar rumah kita berkomunikasi dengan telepon genggam kemudian menumpang kendaraan yang menggunakan logam dan mienral lain sesuai intensitasnya. Singkatnya, dari rumah sampai masuk kembali ke rumah manusia selalu bersentuhan dengan bahkan tergantung pada hasil tambang.
Ketergantungan ini bukan hanya ciri jaman modern, tetapi sejak lama produk tambang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia. Sewaktu hidup di gua – gua pun manusia purba menggunakan bebatuan sebagai peralatan untuk meramu dan berburu. Saking pentingnya arti hasil tambang, sejarah peradaban manusia dikategorikan berdasarkan perkembangan konsumsi jenis barang tambang. Jaman batu adalah masa dimana batu menjadi peralatan utama manusia, disusul dengan jaman logam seperti jaman tembaga dan jaman perunggu ketika manusia telah mampu mengekstrak mineral logam dari batuan untuk kepentingan sehari – hari. Lebih lanjut revelusi industri tidak bisa lepas dari penemuan mesin uap dengan batubara sebagai bahan bakarnya. Contoh di atas menjadi indikasi bahwa tambang adalah realitas, yang mau atau tidak harus diterima.
Dalam konteks Indonesia, pertambangan telah lama menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2009 lebih tiga puluh persen pendapatan negara (APBN) disumbang oleh pertambangan dan energi (Marpaung, 2010, pers com). Belum lagi lapangan kerja yang diciptakan oleh industri pertambangan yang juga berkontribusi mengurangi jumlah pengangguran di tanah air sekecil apapun itu. Pertambangan juga berperan dalam membuka keterisolasian daerah – daerah pedalaman yang hampir tidak tersentuh oleh aktivitas ekonomi lain bahkan pemerintah sekalipun. Misalnya, dua kampung masyarakat lingkar tambang di sebuah pulau, di Maluku Barat Daya, baru menikmati investasi listrik setelah 65 tahun Indonesia merdeka, berkat kegiatan community development sebuah perusahaan eksplorasi di daerah itu pada tahun 2010.
Kegiatan pertambangan mangan di daratan Timor dan sekitarnya dengan segala kebobrokannya, telah membuka alternatif penghidupan baru bagi masyarakat NTT. Kegiatan pertambangan memberi peluang diversifikasi mata pencaharian yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Kenyataan ini perlu diterima sebagai anugerah Tuhan yang perlu disyukuri dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara bertanggung jawab. Dengan kata lain, penolakan mutlak terhadap tambang dengan sendirinya adalah pengingkaran terhadap keunggulan kompetitif yang seharusnya menjadi modal untuk memacu kesejahteraan masyarakat. Namun, benar bahwa keunggulan kompetitif berbasis alam perlu dikembangkan dengan menpertimbangkan aspek manfaat yang diselaraskan dengan daya dukung lingkungan.

Sisi Gelap Pertambangan
Fakta dan sejarah membuktikan bahwa tidak ada satu pilihan yang seratus persen baik, termasuk pertambangan. Para ahli ekonomi sosialis mengibaratkan aspek positif dan negatif suatu pilihan seperti kedua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Akibatnya, mereka mengkritik pemikiran ekonomi kapitalis yang memperlakukan aspek negatif sebagai eksternalitas (externalities). Sebagai misal, listrik adalah sesuatu yang sangat esensial bagi kehidupan manusia modern; tetapi jika tidak dikelolah dengan baik bisa membawa malapetaka seperti kebakaran. Pertambangan pun memiliki sisi negatif yang dapat merugikan lingkungan, sosial, dan ekonomi jika tidak dikelolah secara baik pula.
Industri pertambangan dan kegiatan ikutannya rentan merusak lingkungan. Kegiatan pertambangan harus diakui mengganggu kesetimbangan lingkungan, setidaknya untuk waktu yang singkat. Ada tiga sumber kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan yakni, pertama dalam proses produksi seperti pembukaan lahan, limbah yang dibuang seperti ’tailing’ dan batu penutup (overburden) dan limbah lain selama produksi. Contohnya adalah kegiatan pertambangan permukaan (open pit) yang mengubah topografi sekitar dan pembuangan limbah proses ke alam bebas. Sumber kedua adalah pembuangan yang disebabkan oleh konsumsi produk tambang yang tidak sempurna seperti emisi buangan dari pembakaran batubara atau minyak bumi atau bangunan dan besi tua (scraps) yang dibiarkan teronggok. Kerusakan lingkungan yang nyata di Indonesia adalah tapak – tapak tambang yang dibiarkan terbuka di daerah Kalimantan atau tailing yang dialirkan bebas di sungai seperti di Papua. Sedangkan emisi kasus lingkungan yang kedua seperti karbon monooksida yang dipercaya merusak ozon. Yang ketiga, pertambangan pun dapat menyebabkan malapetaka lingkungan akibat salah kelolah atau kondisi alam yang tidak terdeteksi oleh sistem mitigasi yang ada. Contoh di kecelakaan di luar negeri adalah kasus tumpah minyak di Teluk Meksiko Amerika serikat yang melibatkan perusahaan minyak raksasa, British Petroleum. Sementara semburan lumpur dari sumur explorasi Lapindo Brantas adalah contoh klasik kecelakaan dalam negari yang belum dapat ditanggulangi sampai saat ini.
Pertambangan sering juga menuai suara minor akibat dampak sosial yang ditimbulkannya. Pelanggaran hak asasi manusia, kemampuannya mempengaruhi independensi pengambil kebijakan publik, kerusakan kebudayaan lokal dan penggerogotan institusi sosial adalah beberapa masalah sosial pertambangan. Misalnya, tambang banyak dituding menjadi sumber konflik bersenjata di beberapa negara benua Afrika. Contoh yang paling hangat di NTT adalah kehadiran tambang yang memicu konflik horisontal antara mereka yang pro dan kontra pertambangan. Tidak ketinggalan adalah kecelakaan tambang akibat perlindungan pekerja yang minim kalau tidak dibilang tidak ada.
Sisi buruk lain yang bisa diulas adalah di bidang ekonomi. Ketergantungan yang berlebihan pada satu sektor perekonomian yang memiliki sirkulasi uang yang besar seperti pertambangan dapat merusak ekonomi secara jangka panjang atau yang disebut dengan Dutch disease. Dalam konteks NTT, Dutch disease dapat dijelaskan sebagai berikut. Jumlah uang yang besar dari pertambangan menyebabkan industri lain menjadi tidak kompetitif, sehingga ditinggalkan. Karena sifat pertambangan yang tidak terbarukan mengakibatkan perekonomian dapat collapse akibat terhentinya kegiatan pertambangan; sementara sektor lain menjadi tidak kompetitif dan sangat tergantung pada injeksi uang dari pertambangan. Fenomena ini dapat dilihat di Timor ketika masyarakat TTU meninggalkan ladang (baca: sektor pertanian) dan beralih kepada tambang mangan yang cepat menghasilkan uang segar. Dalam skenario terburuk, saat mangan habis lahan sudah tidak dapat dikelolah lagi karena telah diselimuti belukar; sementara harga barang menjadi mahal karena inflasi. Dalam skala nasional ini lebih kompleks karena melibatkan nilai tukar mata uang.

Adopsi UU No 4 tahun 2009 dan Mining Industry Best Practices
Melihat efek negatif pertambangan di atas maka kehadiran pertambangan perlu disikapi dengan hati – hati. Cara terbaik untuk menolak tambang adalah memboikot segala macam produk dengan konten tambang. Kenyataan dunia moderm menunjukkan bahwa kita belum dapat hidup tanpa hasil tambang. Sehingga, janganlah membakar rumah untuk mengusir tikus. Apa lagi kita menolak tambang di NTT, tanpa melepaskan diri dari produk tambang dan turunnya, hanya akan memindahkan pertambangan di bagian bumi yang lain. Pertanyaan etisnya, mengapa kita membiarkan tambang di tempat lain tetapi tidak di kampung sendiri.
Pertambangan, sebaliknya, harus dikelolah secara strategis untuk mendapatkan keuntungan yang optimum dengan dampak negatif yang seminim mungkin. Bila perlu kegiatan pertambangan di suatu daerah dihentikan jika memang net benefit bagi masyarakat negatif. Dengan kata lain, industri pertambangan dikembangkan dengan mempertimbangan keunggulan komparatifnya terhadap sektor ekonomi lainnya. Lagi pula karena sifat pertambangan yang ekstraktif, maka pertambangan yang tidak menguntungkan merupakan kerugian yang berlipat ganda. Tak laiknya industri lain, yang masih mungkin dioperasikan pada kondisi break even, karena pertambangan menguras asetnya (cadangan mineral) yang tak terbarukan. Semisal, nilai ekonomi pertambangan mangan bagi masyarakat, pemerintah dan pengusaha di Timor, jika ternyata tidak seimbang dengan biaya lingkungan, sosial dan ekonomi yang timbul karena kegiatan pertambangan, maka seharusnya dihentikan karena mangan habis tanpa membawa dampak positif ekonomi. Sebaiknya, dibiarkan hingga masyarakat cukup siap untuk mengelolah pertambangan secara menguntungkan di masa depan.
Untuk mendapatkan manfaat optimum aktivitas pertambangan dibutuhkan kondisi (kebijakan dan struktur sosial dan ekonomi) yang memungkinkan bagi praktek pertambangan yang bertanggung jawab (good mining practice). Suatu daerah yang hanya berlimpah sumber daya alam tanpa memiliki instrumen kebijakan pertambangan dan dukungan infrastruktur sosial yang memadai sulit menuai hasil optimal dari kehadiran kegiatan pertambangan, apa lagi dikelolah oleh pengusaha yang oportunis bermodal nekat. Pada hal sumber daya alam adalah jenis keunggulan kompetitif yang dikendalikan oleh lokasi keterdapatannya, sehingga pemanfaatannya dapat diarahkan untuk membuka sentra pertumbuhan ekonomi baru, membuka keterisolasian wilayah, dan menjadi landasan pengembangan wilayah dan ekonomi (inkubasi bisnis) daerah.
Pemerintah, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, perlu menyediakan kebijakan pertambangan (mineral policy) yang tepat, dan memastikan usaha pertambangan menyokong strategi umum pengembangan dan pembangunan wilayah. UU No 4 tahun 2009 mengharuskan ijin usaha pertambangan mengacu pada rencana umum tata ruang wilayah, menunjukkan bahwa pertambangan harus diintergrasikan dengan blue print pembangunan ekonomi suatu daerah. Sayangnya, dengan kapasitas yang terbatas dan kuasa berlebihan akibat otonomi daerah, pemerintah daerah berusaha mengeluarkan ijin usaha pertambangan tanpa melewati kajian yang komprehensif cenderung serampangan. Bahkan, beberapa kabupaten berusaha mengakali himbauan pemerintah pusat, untuk menghentikan sementara ijin pertambangan hingga UU Pertambangan tersebut dilengkapi dengan aturan pendukung yang memadai, dengan mengeluarkan ijin kuasa pertambangan secara back dated. Para pejabat demikian tidak lebih baik daripada pengusaha yang dituding rakus dan tidak bertanggung jawab karena merekalah yang biang kerok kejahatan pertambangan.
Jika UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan dan aturan turunannya diimplementasikan dengan baik, maka sangat mungkin industri pertambangan di daerah memberi kontribusi positif bagi pembangunan. UU ini telah cukup rinci memberi pedoman, baik bagi para pengambil kebijakan maupun pelaku usaha pertambangan. Sayangnya, pada tataran implementasi, kolusi pengambil kebijakan dengan pengusaha oportunis bermodal cekak, memunculkan pertambangan sebagai momok yang menakutkan. Contohnya, peluang ekspor mangan menyebabkan banyak kecelakaan tambang artisanal, bahkan melibatkan ibu hamil dan anak di bawah umur. Namun tidak terlihat jelas apa tanggung jawab dan tindakan pemerintah, sama kaburnya dengan tanggung jawab penadah yang jelas melanggar aturan, karena menerima dari sumber yang tidak sah.
Lantas apa yang harus dilakukan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, pengusaha dan stakeholders lainnya? Semua pihak perlu mengembangkan peran masing – masing untuk mendapatkan titik equilibrium bagi pertambangan, yang mengakomodasi kepentingan kaum anti tambang dan pro tambang. Pemerintah dalam tataran kebijakan perlu melakukan langkah strategis sebelum mengijinkan kegiatan pertambangan. Langka – langka yang terutama adalah berdasarkan peta geologi dan data pendukung lainnya menetapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Kemudian ditentukan daerah mana yang akan menjadi wilayah pertambangan. Wilayah pertambangan menjadi dasar pengeluaran ijin usaha pertambangan. Dari situlah pemerintah menyediakan perangkat peraturan dan merangsang berkembangnya institusi sosial dan ekonomi, yang memungkinkan pertambangan memberi dampak positif optimal dan negatif minimum. Pengembangan sumber daya manusia dan entitas sosial lain yang dapat meningkatkan efek ekonomi berganda pertambangan perlu direncanakan. Analisa opsi – opsi yang memungkinkan (option analysis) dan in put – out put analysis dapat diadopsi untuk mengkuantifikasi dan menentukan strategi yang optimal. Harapannya, pemerintah dapat mengambil keputusan yang dapat akuntabel dan ilmiah.
Pengusaha yang diijinkan adalah pengusaha visioner yang bersedia menerapkan good mining practice (praktek pertambangan yang bertanggung jawab). Good mining practice adalah metode pertambangan yang mengadopsi industry best practices, biarpun tidak ada peraturan pemerintah. Ironisnya, implementasi industry best practice menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi pengusaha lokal yang bermodal kolusif bukan uang, karena dibutuhkan uang yang besar. Industry best practice mengandaikan legal license and social license to operate berjalan simultan. Kedua ijin ini diperoleh dengan menjalani semua langka administrastif, teknis dan non teknis yang sebagian besar telah tercantum dalam UU pertambangan tahun 2009.
Misalnya, ijin usaha pertambangan (IUP) eksploitasi harus melewati tahap ekplorasi untuk mendapatkan data yang menjadi landasan teknis kajian kelayakan (feasibility study) yang menyangkut layak ekonomi, teknologi, dan lingkungan. Secara normatif, ada juga kewajiban AMDAL (environmental impact analysis) yang memuat secara khusus tentang kelayakan lingkungan. Mengingat sedikitnya sentuhan aspek sosial dalam kajian AMDAL, pengusaha diwajibkan untuk menyusun dokumen rencana pengakhiran tambang (mine closure plan) yang memuat rencana rona akhir kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi daerah setempat pasca tambang, serta kiat pengusaha untuk mewujudkan estimasi. Hal ini dibuktikan kesungguhannya dengan dana jaminan pengakhiran tambang, yang hanya bisa dicairkan jika kewajiban pengakhiran tambang telah memenuhi standar yang ditetapkan. Jelaslah, hanya dengan mengikuti persyaratan normatif ini saja sebagian good mining practice telah terpenuhi apa lagi mengadopsi best mining practice.
Elemen masyarakat lain yang anti tambang tidak seharusnya ditolak karena mereka adalah bandul penyeimbang system control sosial kita. Pemerintah dan pengusaha perlu melibatkan mereka dan memahami apa yang diinginkan (put your feet to their shoes). Pekerjaan rumahnya adalah menyelesaikan egoisme sektoral, yang menyebabkan kutub anti tambang dan pro tambang saling menarik simpati dengan propaganda negatif tidak berimbang. Praktek ini hanya memicu konflik horisontal masyarakat kecil yang sejatinya hanya ingin hidup yang lebih baik. Sudah saatnya, setiap elemen berhenti mengklaim kepemilikan atas kebenaran tunggal yang membingungkan masyarakat awam, karena hanya Tuhanlah yang memiliki kebenaran mutlak.
Kesimpulannya, pertambangan tak bedanya dengan bidang kehidupan lainnya, yang memiliki aspek aspek positif dan negatif. Realitas sejarah bersaksi pertambangan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian manusia sehingga menafikan tambang sama dengan mengkhianati peradaban. Pilihan yang paling realistik dan efektif adalah mengawal pertambangan dengan saksama untuk memastikan dampak positif yang optimal dengan efek negatif sekecil mungkin. Pilihan ini hanya berarti jika pertambangan diintegrasikan dengan rencana strategis pembangunan daerah, dan para pelaku bisnis pertambangan mengadopsi industry best practices. Sementara itu, suara – suara kritis melawan pertambangan haruslah tetap diberi ruang untuk terus menerus mengusik sona kenyamanan pelaku pertambangan dan pengambil kebijakan, demi perwujudan industri pertambangan yang makin jauh dari sifat barbarian dan makin ramah lingkungan dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat dalam operasinya. Semoga kita tidak membatasi mimpi untuk suatu NTT yang lebih baik yang mungkin datang lewat industri pertambangan.