Wednesday 6 February 2013

Kembali ke Rumah Panggung
By Herman Seran


Suatu ironi yang menggelitik terbersit dari berita TV Belu (9/2/08), yang menyatakan bahwa salah satu kebutuhan masyarakat Malaka Barat, yang sementara ini terkena bencana banjir Benenai adalah rumah panggung. Pernyataan ini memang ironis karena rumah panggung sendiri adalah rumah tradisional masyarakat Belu Selatan. Tetapi mengapa rumah panggung saat ini seolah berubah menjadi barang langkah bagi masyarakat yang telah mendapat jatah tahunan rutin banjir bandang Sungai Benenai ini?
Jawabannya adalah strategi pembangunan yang bersifat ‘copy-paste’ akan menghasilkan hasil yang tidak maksimal bahkan kemunduran. Dalam perspektif yang lebih positif, pembangunan yang menghargai kearifan lokal (local wisdom) akan menyokong prinsip keberlanjutan (sustainability). Sayangnya, pembangunan pemukiman di Malaka Barat telah menafikan kristalisasi proses adaptasi (tacit knowledge) Bani Wewiku – Wehali, yang menjadikan rumah panggung menjadi pilihan yang paling tepat, untuk meredam keganasan banjir bandang sungai Benenai. Karena di balik keganasan banjir Sungai Benenai ini, endapan lumpur yang dibawanya dari segenap penjuruh Pulau Timor menyuburkan lembah yang pernah menjadi pusat kerajaan Wewiku - Wehali yang pernah berpengaruh di jagat Nusantara.
Satu hal yang patut disyukuri bersama, adalah bahwa kebutuhan korban banjir akan kehadiran rumah panggung, menjadi antitesis bagi paradigma sempit, yang menganggap sesuatu yang datang dari luar selalu lebih baik. Pemahaman yang sama tidak terkecuali bagi konstruksi rumah – rumah masyarakat Belu Selatan yang diadopsi dari luar. Seruan masyarakat korban banjir merupakan representasi kesadaran akan keunggulan tradisi nenek moyang yang telah teruji sejak berabad – abad lamanya. Rumah panggung merupakan opsi yang paling ramah lingkungan (environmental friendly) bagi kehidupan di lembah sungai, termasuk Malaka Barat. Rumah panggung bukan saja tipikal rumah Belu Selatan, tetapi dapat ditemui pada sebagian besar kebudayaan yang berkembang di sepanjang daerah aliran sungai. Karena konstruksi rumah panggung, selain melindungi penghuni dan harta bendanya dari banjir, memungkinkan air mengalir secara leluasa, dan memberi ruang yang terbuka bagi peresapan dan penguapan.
Pernah ada selentingan untuk memindahkan masyarakat Malaka Barat yang rawan banjir seperti Lasaen, Fafoe dan Umatoos ke tempat lain yang bebas banjir. Tawaran semacam ini merupakan suatu pilihan yang tidak bertanggung jawab. Program migrasi ini mengajak masyarakat untuk berlari dari tantangan, bukan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Lebih parah lagi, tawaran ini tidak sensitif terhadap budaya lokal masyarakat Wewiku – Wehali (culturally insensitive). Mengapa demikian? Karena kampung Lasaen adalah pusat kerajaan (tafatik) Wewiku. Dengan memindahkan masyarakat Lasaen dan sekitarnya, sama dengan mengkhianati eksistensi kerajaan Wewiku secara umum. Dengan demikian ide transmigrasi adalah suatu pemikiran yang tidak mendidik bahkan cenderung destruktif.
Daripada menghabiskan energi memikirkan pilihan – pilihan yang tidak jelas kemaslahatannya, alangkah baiknya pemerintah mengalokasikan sumber daya untuk menyokong masyarakat Malaka Barat untuk kembali ke budaya atau tradisi rumah panggung. Dukunglah masyarakat menemukan kembali (reinventing the wheel) teknologi moyangnya yang telah terpinggirkan oleh arus modernisasi. Nenek moyang mereka telah mampu mengembangkan konstruksi rumah yang ramah lingkungan dan unggul mengatasi bencana, yang menyebabkan mereka mampu menikmati sisi positif dari banjir itu sendiri. Leluhur mereka sungguh sadar, bahwa hidup enak juga punya konsekuensi negatifnya (negative and positive impacts are inextricably linked to each other). Tugas manusia dengan teknologinya adalah untuk meminimalisasi nilai negatif dan mengoptimalkan nilai positifnya. Rumah panggung adalah bentuk teknologi yang mengurangi efek negatif banjir bandang.
Rumah panggung dengan kolongnya memungkinkan air dapat mengalir secara leluasa ke tempat yang lebih rendah. Konstruksi rumah - rumah permanen saat ini secara signifikan telah menaikkan muka air dan menghambat laju air. Air yang mengalir daerah yang mempunyai kelerengan yang relatif kecil sangat terpengaruh oleh hambatan sekecil apapun. Dengan sendirinya, tanpa mempertimbangkan faktor lain, banjir yang semakin kerap di Belu Selatan sedikit banyak adalah kontribusi dari konstruksi perumahan yang diadopsi masyarakat Malaka Barat saat ini. Secara sederhana dapat dilihat bahwa ada perbedaan muka air yang sangat menyolok dan lama tergenang pada bahu jalan yang berdekatan dengan sungai daripada sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa jalan dan rumah – rumah sekitarnya telah menjadi tanggul yang meningkatkan muka air dan menghambat laju aliran air yang seharusnya bebas mengalir.
Hal positif kedua yang menjadikan rumah panggung ramah lingkungan adalah bidang peresapan dan penguapan yang disebabkan oleh ruang terbuka (kolong) rumah panggung tersebut. Semakin banyak bidang peresapan dan penguapan semakin cepat pula air mengering. Rumah jenis lain tidak memberi ruang terbuka bagi peresapan dan penguapan. Akibatnya adalah potensi banjir besar akan lebih kerap terjadi karena walaupun jumlah air yang datang relatif sedikit, namun akan menjadi banyak karena sisa air yang tertahan, lama meresap dan lambat menguap. Jika faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus), konstruksi rumah yang semakin banyak menyisahkan ruang peresapan dan penguapan akan mengurangi potensi banjir.
Argumen – argumen di atas mengarah pada satu kesimpulan bahwa konstruksi rumah panggung memenuhi dua aspek disaster management concept yang selama ini dikampanyekan para ahli bencana. Dua aspek tersebut adalah aspek mitigatif and aspek preventif. Karena itu, saatnya semua pihak termasuk pemerintah mengkampanyekan program kembali ke rumah panggung di daerah – daerah rawan banjir. Tindakan nyata pemerintah adalah memberikan insentif kepada setiap warga yang menjadikan rumah panggung sebagai pilihan. Segenap komponen masyarakat harus mengambil bagian secara aktif mempromosikan ide kembali ke rumah panggung. Sebab, adalah kemunduran jika meninggalkan lembah yang subur ini hanya karena alasan banjir. Dengan teknologi yang lebih maju seharusnya masyarakat jaman ini lebih mampu mengatasi banjir daripada nenek moyang masyarakat Wewiku – Wehali yang hidup dengan teknologi primitif dan tradisional seadanya.
Kesimpulannya, nenek moyang masyarakat Wewiku -Wehali telah mampu membangun peradaban yang terkenal di seantero Nusantara di lembah ini. Dan salah satu pilar kesuksesan itu adalah konstruksi rumah panggung yang menghindari mereka dari efek negatif sungai Benenai. Karena di balik malapetaka ada berkah yang melimpah yang mampu menyokong keberlangsungan peradaban yang telah berabad lamanya tak lekang oleh banjir. Maka kini saatnya turunan mereka belajar dari kesuksesan leluhurnya untuk membangun suatu kehidupan baru yang ramah lingkungan. Kehidupan baru yang memberi tempat kepada teknologi rumah panggung warisan nenek moyang yang telah teruji keampuhannya. Prinsip ‘jas merah’, jangan melupakan sejarah, harus menjadi landasan membangun peradaban yang berkelanjutan.

Saturday 26 January 2013

REVITALISASI SEKTOR SOSIAL EKONOMI DI LEMBAH WEWIKU - WEHALI


By Herman Seran

Jared Diamond dalam bukunya Guns, Germs and Steel (2005) memaparkan bahwa peranan kondisi geografis sangat krusial dalam pola penyebaran peradaban bangsa manusia di seluruh dunia. Lebih lanjut Francis Fukuyama dengan bukunya The Origins of Political Order (2011), beragumentasi bahwa sejarah munculnya institusi politik atau pemerintahan sebagai buah dari peradaban manusia, sangat ditentukan oleh parameter – parameter topografi yang membatasi ruang gerak kelompok – kelompok manusia nomaden hingga memaksa mereka untuk membentuk konsensus untuk hidup bersama dalam ikatan yang tidak berdasarkan garis keturunan. Dalam terang pemikiran ahli geografi dan ahli politik tersebut, penulis hendak mendeskripsikan historis peranan Sungai Benenai bagi maju dan mundurnya peradaban kampung – kampung sepanjang bantaran sungai tersebut. Kedua, penulis beragumentasi tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh kehadiran S. Benenai yang kemudian disusul dengan kehadiran jembatan Benenai pada pertengahan tahun 1980-an. Terakhir, akan ditawarkan solusi untuk merevitalisasi sector sosial dan ekonomi di lembah Benenai yang subur tersebut.

Pengalaman penulis yang lahir dan besar di Wewiku – Wehali mempertegas pengamatan para ahli tentang bagaimana kondisi geografi dan pola transportasi mempengaruhi maju mundurnya peradaban di suatu wilayah. Keberadaan S. Benenai yang kemudian tersedianya jembatan Benenai di ujung Haitimuk pada awal tahun 1980an, sangat mempengaruhi kemajuan dan interkonektivitas kampung – kampung sepanjang muara S. Benenai. Observasi penulis dalam kurun waktu akhir 1970-an hingga tahun 2013 menggambarkan bahwa banyak hal positif yang telah dinikmati dari kehadiran Sungai Benenai dan Jembatan Benenai. Namun pada saat yang sama, ada dampak negatif yang muncul akibat keberadaan Sungai Benenai dan Jembatan Benenai. Misalnya, banjir yang membawa humus dari pegunungan menyuburkan lembah Wewiku – Wehali, tetapi banjir bandang sering menjadi ancaman bagi harta dan bahkan nyawa manusia. Kanalisasi alur transportasi ke bagian barat dengan hadirnya jembatan telah mengubah pola mobilitas masyarakat yang berdampak pada matinya beberapa pusat pertumbuhan sebelum tahun 1980-an.

Banyak penulis berpendapat bahwa Wewiku – Wehali mampu menjadi pusat kekuasaan yang terbesar di daratan Timor bahkan Sunda Kecil pada masa lampau, sangat dipengaruhi oleh keberadaan Sungai Benenai. Widiyatmika (tt), misalnya, berpendapat bahwa Motadikin telah menjadi pelabuhan perdagangan Cendana terbesar di daratan Timor jauh sebelum abad XV, bahkan S. Benenai di musim kemarau merupakan jalan untuk mengangkut Cendana ke muara. Demikian juga penulis lain seperti Therik dan Fox juga berpendapat sama bahwa lembah Benenai yang subur ini telah menjadi pusat kerajaan di Timor dengan bentuk kekuasan yang paradoksal (the power of the powerlessness) (bdk. Fox, 1996). Peranan luar biasa S. Benenai tersebut, secara metaforik tergambar dalam cerita “Na’an Oan dan Ai knotak”. Dikisahkan bahwa Sungai Benenai tercipta sebagai sarana komunikasi antara Sang Pangeran di Pegunungan Mutis dan Sang Puteri yang berada di Lembah Wewiku-Wehali. Bahwa banjir dari gunung mengirimkan kayu bakar (Ai knotak) untuk berdiang sang puteri yang baru melahirkan, sebagai balasannya sang puteri mengirimi beras dalam bentuk nener yang muncul pada bulan Mei – Juni setiap tahun sebagai Na’an Oan.

Ketika musim banjir, bukan saja kayu bakar yang dikirimnya, tetapi juga meninggalkan dampak ekonomi dan sosial yang tidak sedikit dan berkelanjutan. Harta benda dan ternak yang hanyut terbawa banjir, menurunkan semangat usaha dan kerja mereka yang tinggal di lembah nan subur ini. Banjir tidak hanya menghilangkan harta benda, tetapi lebih serius lagi karena menumbuhkan rasa pesimis para petani dan peternak karena banjir akan merusaknya lagi setelah mereka pulihkan. Akibatnya, wilayah yang pernah menjadi sentra pertanian di Belu dan bahkan pernah dirancang untuk menjadi kota agropolitan ini, secara perlahan kehilangan produktivitasnya.

Banjir dan kemudian jembatan yang dibangun pada pertengahan 1980-an yang mengubah pola pergerakan manusia, justeru menjadikan beberapa kampung Wewiku – Wehali sepanjang bantaran Benenai menjadi kota mati (ghost town). Kampung – kampung seperti Besikama dan Bolan sekarang menjadi yang ditinggalkan, walaupun pada awal tahun 1980-an menjadi pusat pertumbuhan. Misalnya, Rumah Sakit Marianum yang dikelola Komunitas SSpS di Besikama mengalami penurunan peranan hingga ditutup, sedikit banyak karena bergesernya jalur transportasi akibat terbangunannya jembatan dan bencana banjir. Kampung – kampung yang dipisahkan oleh S. Benenai yang dulu terhubungkan satu sama lain dengan jalan kaki dan berkuda menyeberang sungai, sekarang menjadi susah dijangkau karena masyarakat beralih ke moda transportasi kendaraan bermotor, yang susah menyeberang sungai. Motaulun dengan Angkaes yang berdekatan, Taelama dengan Lasaen, Sukabilulik dengan Manumuti menjadi sulit terkoneksi satu sama lain karena untuk berkunjung mereka harus melewati jembatan di Haitimuk, walaupun jarak antara kampung – kampung tersebut hanya selebar sungai Benenai. Di sinilah, peranan kondisi geografis menghambat interaksi antara pusat – pusat peradaban, yang diperburuk oleh rekayasa teknik, dalam hal ini jembatan.

Situasi ini jika dibiarkan secara berkelanjutan akan mematikan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat sepanjang bantaran S. Benenai di Wewiku Wehali. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekayasa teknik untuk mengembalikan performa pusat – pusat pemukiman tersebut. Hal ini menjadi lebih penting lagi, karena terbentuknya Kabupaten Malaka dan ibukotanya Betun, perlu disokong oleh pusat – pusat pertumbuhan di periferi kota. Karena itu, rekayasa yang perlu dilakukan adalah mengeliminasi dampak negatif banjir Benenai dan menghubungkan kembali pemukiman – pemukiman yang telah terputus satu sama lain dengan cara pelurusan S Benenai dan pembangunan Jalan Lingkar Selatan.

Langkah pertama adalah pelurusan S. Benenai yang akan dilakukan pada lokasi yang sering merupakan jalur banjir yang terbesar dan jarak terdekat ke muaranya. Dari pengukuran kasar pada citra satelit, jarak pelurusan tersebut kurang lebih delapan kilometer. Jarak ini merupakan jarak antara tikungan yang paling tajam tempat berawalnya pola aliran berkelok-kelok (meandering) pada dataran banjir hingga muara sungai di Laut Selatan saat ini. Secara umum arah normalisasi kanal dimulai dari pelurusan badan sungai start dari depan gereja Kleseleon mengarah ke tenggara, kemudian membelah di antara Gereja Protestan Maktihan dan Kantor Camat Malaka Barat, menuju ke muaranya di Laut Selatan. Mempertimbangkan potensi biaya, dampak negatif, dan dampak positif yang ditimbulkan dari projek pelurusan ini, maka jarak delapan kilometer, secara empiris sangat layak untuk dikerjakan. Karena dengan pelurusan maka daerah potensi atau limbasan banjir menjadi lebih kecil, badan sungai relatif lebih sempit sehingga bisa dilakukan pengelolaan daerah aliran sungai (manajemen DAS), dan tentu saja dapat dibuatkan jembatan untuk menghubungkan daerah – daerah di sebelah timur, baik di utara maupun selatan S Benenai. Langkah berikutnya adalah pembuatan jalan lingkaran selatan mulai dari Weoe – Webriamata – Wemean – Besikama – Sukabilulik – Bolan – Betun. Jalan ini akan dilengkapi dengan jembatan yang relatif pendek karena hanya menyeberang kanal hasil rekayasa yang sempit.

Hal utama yang perlu dilakukan adalah kajian kelayakan teknis dan analisis sosial ekonomi yang komprehensif untuk mengkuantifikasi untung rugi projek tersebut (cost-benefit analysis) oleh team yang kompeten dan terlebih independen. Langkah berikutnya adalah sosialisasi projek secara transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat terutama mereka yang bakal tergusur. Mereka yang terkena dampak harus diberi kompensasi yang lebih dari layak, setelah dengan sadar memahami pentingnya projek ini bagi kepentingan bersama. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah definisi ulang peran mistis S. Benenai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban dan budaya Wewiku Wehali. Dengan demikian, antara pembangunan dan kebudayaan tidak saling mengorbankan.

Untuk mengakhiri pemaparan ini, penulis berpendapat bahwa kondisi geografis sangat menentukan pola perkembangan pembangunan dan kebudayaan. Peranan manusia yang diberi akal budi oleh Tuhan adalah untuk memodifikasi hambatan – hambatan alam untuk memastikan keberlanjutan peradaban manusia tanpa mengabaikan daya dukung lingkungan dan sustainabilitas. Intervensi manusia dan kondisi geografis dapat memberikan dampak negatif, tetapi pada saat yang sama juga berkontribusi positif. Tugas rekayasa keteknikan adalah melakukan intervensi pada kondisi alam yang bertujuan meminimalisir dampak negatif dan mengamplifikasi dampak positif bagi alam dan manusia. Projek pelurusan S. Benenai dan Jalan Lingkar Selatan pasti ada kerugiannya, tetapi merupakan mitigasi bencana banjir dan juga merevitalisasi perekonomian dataran Wewiku – Wehali secara keseluruhan. Karena itu dibutuhkan kearifan semua pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada perencanaan yang matang dan komprehensif.
AWASI PENGIJONAN PROJEK IBUKOTA MALAKA

By Herman Seran

Pembangunan ibukota suatu daerah otonomi baru (DOB) ternyata membutuhkan biaya yang sangat besar dan berlangsung beberapa tahun anggaran (multiyear). Itulah hasil observasi penulis mengikuti pembangunan suatu ibukota kabupaten baru di wilayah timur Indonesia. Anggaran dan projek yang masif tersebut sangat potensial menggerakkan ekonomi setempat alias efek ekonomi berganda (economic multiplier effect) dan manfaat lain jika dikelola secara massal. Namun demikian, dana dan projek besar tersebut sangat potensial untuk ‘diijonkan’ calon bupati kepada kontraktor (pengusaha) dan para pencari posisi (pegawai negeri dan politisi lain) di pemerintahan masa depan. Penyalahgunaan wewenang semacam ini sebaiknya tidak boleh terjadi pada DOB Malaka, yang telah diperjuangkan dengan keringat dan air mata semua pihak di Malaka dan luar Malaka.

Mengapa Projek Pembangunan Ibukota Malaka dapat diagunkan? Modus umum yang dilakukan untuk mengumpulkan dana kampanye, dan pada gilirannya mengumpulkan suara lewat kerja keras team sukses, termasuk para bakal calon bupati Malaka, adalah kolaborasi dengan penyandang dana (berminyak) dan pemilik massa (berkeringat). Projek ibukota bisa dibagi – bagi antara para bakal pejabat birokrasi sebagai insentif kepada mereka untuk mengkampanyekan sang calon bupati. Pada saat yang sama, dana dan projek yang besar bisa digadaikan kepada para pengusaha untuk mendapatkan dana kampanye bahkan untuk ‘money politics’. Projek sebesar itu sangat seksi untuk dikomodifikasikan bagi politisi untuk ditukarkan jabatan politik.

Namun sebaliknya, dana pembangunan yang bernilai ratusan miliar rupiah dan berkelanjutan secara multiyear, sangat potensial untuk menggerakkan roda pembangunan dan perubahan sosial di DOB yang masih sangat membutuhkan dana yang besar untuk pembangunan. Projek yang besar itu jika dikerjakan oleh masyarakat akan memberikan efek ekonomi berganda yang sangat besar, di samping memberi ketrampilan pertukangan dan manajemen projek. Tenaga kerja dan material lokal didatangkan dari setiap desa, dengan manajemen pada tingkat desa atau kampung, akan sangat berarti bagi desa – desa di Malaka. Sementara pengawasan dilakukan oleh pemerintah menggandeng kaum intelektual Malaka yang berada di luar Malaka maupun di Malaka. Strategi model ini akan sangat positif menggerakkan roda ekonomi lokal dan menjadi media transfer teknologi dan ilmu pengetahuan (technology and knowledge transfer) kepada masyarakat di Malaka.

Bagaimana ide ini bisa diimplementasikan di lapangan? Pertama – tama setiap desa akan didirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Berikutnya, BUMDes dari setiap desa akan bertanggung jawab dalam pembangunan salah satu bagian dari Projek (gedung, jalan atau bangunan fisik lainnya). Pemerintah daerah menyediakan desain dan tenaga ahli untuk mengawasi proses pembangunan sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku. Pemerintah secara sengaja membentuk dewan pengawas ahli yang merupakan kumpulan kaum intelektual Malaka yang tersebar di seantero jagat untuk bekontribusi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di desa masing – masing. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial kaum intelektual kepada kampung halaman. Dengan demikian semua pihak bersinergi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan ibukota Malaka dan keuntungan secara optimal dikembalikan kepada masyarakat untuk menggerakkan roda perekonomian desa, daripada dinikmati oleh segelintir orang.

Apa untungnya bagi Malaka dan masyarakat Malaka? Pertama, dana yang besar dikembalikan kepada masyarakat desa akan menjadi motor pembangunan desar yang signifikan. Desa bisa mempunyai dana yang cukup untuk meningkatkan taraf hidup (standar of living). Mereka bisa menggunakan dana untuk membangun desa lewat APBDes. Pada saat yang sama penghasilan yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja dan material lokal akan menjadi dana segar untuk memperbaiki kualitas hidup (quality of life) dan menyekolahkan anak – anak ke tingkat yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, masyarakat desa mendapatkan memontum pengalaman dalam pertukangan dan pengelolaan projek yang pada gilirannya mereka mampu untuk mereplikasinya dalam hidup harian mereka.

Kedua, keterlibatan masyarakat desa dalam pembangunan ibukota Malaka akan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap infrastruktur yang ada. Eksistensi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan diamplifikasi dengan melibatkan merekan secara aktif dalam pembangunan ibukota Malaka. Ini sekaligus merupakan satu bentuk restorasi kedaulatan rakyat Malaka atas daerahnya sendiri. Apalagi, jika setiap bangunan yang dibangun oleh masyarakat akan dinamai dengan nama desa – desa atau kampung – kampung yang ada di Malaka. Betapa tidak membanggakan ada Gedung As Manulea atau Jl. Loro Haitimuk atau Jembatan Litamali.

Ketiga, keterlibatan kaum intelektual Malaka dalam proses pembangunan Ibukota merupakan momentum partisipasi dan intensifikasi tanggung jawab sosial intelektual bagi kampung kelahiran Mereka, Kabupaten Malaka. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan bahwa projek tidak merugikan desa dan tidak mengurangi kualitas yang keteknikannya. Pemerintah Kabupaten Malaka bersama jajarannya memastikan bahwa kaum intelektual dari setiap desa atau kampung menjadi pendorong dan penasehat bagi desa masing – masing untuk menghasilkan projek yang berkualitas dan terjadi alih teknologi dan alih ilmu pengetahuan pada desa tersebut. Sementara, ini merupakan satu kebanggaan bagi kaum intelektual yang selama ini hampir tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan daerah dan sekarang mereka menjadi bagian dari penyelesaian masalah (problem solving) pembangunan.

Yang terakhir, keterlibatan berbagai pihak bukan untuk mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah, melainkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pembangunan yang harus menjadi visi tata kelola Kabupaten Malaka ke depan. Dengan terlibatnya banyak pihak dari perencanaan hingga pembangunan bahkan di tingkat desa, peluang untuk penyalahgunaan dapat diperkecil. Pemerintah menjadi lebih berwibawa karena mampu memobilisasi berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan tidak dicurigai sebagai koruptor.

Kesimpulannya, semua pihak harus mengawasi bersama penggunaan dana pembangunan ibukota malaka karena sangat rawan korupsi. Bahkan, sebaiknya projek itu diserahkan kepada masyarakat desa dengan pengawasan kaum intelektual dan pemerintah. Harapannya adalah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, satu peluru bisa menembak beberapa target. Ibukota berdiri, masyarakat desa makmur, kaum intelektual berpartisipasi, wibawa pemerintah terangkat lewat strategi yang partisipatif, akuntabel dan transparan. Salam Restorasi Malaka!