Thursday 23 July 2009

MENGAWAL INDUSTRI PERTAMBANGAN DENGAN NURANI DAN AKAL SEHAT

Oleh Herman Seran

Kasus eksplorasi di Manggarai Barat menyiratkan dua perspektif yang menjadi pijakan dua belah pihak, mereka yang mendukung dan mereka yang menolak pertambangan. Dari berita – berita media massa, pemerintah dan pengusaha berpatokan pada konteks legal license to operate dan kelompok masyarakat yang didukung lembaga non pemerintah berpihak pada social license to operate. Sejatinya, dua aspek tersebut saling mendukung dalam praktek industri pertambangan modern. Sayangnya, arogansi sektoral dan pemahaman parsial dari pihak – pihak yang terlibat menjadikannya seolah dua dunia yang berbeda. Tulisan ini mencoba menawarkan solusi untuk mengurai benang kusut industri pertambangan NTT yang sangat ruwet dari tataran visi hingga prakteknya. Hal lain menjadi perhatian adalah pemahaman yang bias dari para penentang tambang yang berujung pada klaim – klaim spekulatif yang memojokkan para pendukung tambang seolah mereka adalah pengkhianat bumi Flobamora yang sama kita cintai.

Sejarah peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari peranan produk tambang dalam mendeterminasi arah perkembangannya. Peradaban kita diidentikkan dengan pemanfaatan hasil tambang dalam kehidupan kita. Tentu kita tidak lupa bahwa tahapan perkembangan kebudayaan manusia dijuluki dengan jaman batu, jaman tembaga, hingga revolusi industri yang ditandai dengan batubara sebagai pembangkit mesin uap. Bahkan, pada jaman informasi ini, telpon genggam, rumah tempat kita tinggal, kendaraan yang kita tumpangi hingga cincin kawin yang menjadi simbol ikatan suami istri tidak lepas dari produk tambang.

Sejak Indonesia merdeka, industri pertambangan tidak dipungkiri merupakan penyumbang yang sangat besar bagi keuangan negara Indonesia secara khusus. Misalnya, tahun 2008 industri pertambangan menyumbang sekitar Rp12 triliun sementara sektor kehutanan Rp3.8 triliun dan Kelautan Rp0.8 trilliun (Marpaung, pers com 2009). Perekonomian masyarakat NTT tentu akan banyak terbantu jika secara strategis mengembangkan industri pertambangannya, mengingat pertambangan adalah industri yang location driven. Artinya, kehadiran industri pertambangan di NTT bisa memicu sentra ekonomi baru dan diversifikasi sumber penghidupan yang pada gilirsannya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat NTT.

Namun perananan tambang dalam perekonomian tidak serta merta menafikan fakta bahwa ada potensi kerusakan lingkungan dan sosial yang bisa berdampak besar hingga menghancurkan perekonomian sendiri. Bahkan ketergantungan ekonomi berlebihan pada industri pertambangan dapat berakibat negatif pada perekonomian negara, seperti fenomena dutch disease dan Prebisch-Tsinger hypothesis. Akibatnya muncullah tesis resource curse atau kelimpahan sumber daya alam membawa petaka, yang sebenarnya bukan karena industri itu sendiri tetapi lebih karena salah urus ekonomi pertambangan. Melihat peranan pertambangan yang seumpama pedang bermata dua ini, maka pengembangan industri pertambangan tidak harus ditolak tetapi dikembangkan secara strategis dan melewati kajian – kajian yang komprehensif.

Kajian yang mendalam dan transparan dapat menghindari gelombang penolakan dengan alasan seperti yang selama ini dilansir media komunikasi di NTT. Ijin eksplorasi adalah ijin untuk melakuan penyelidikan untuk mengetahui layak tidaknya kegiatan dilanjutkan ke tahap penambangan. Artinya, jika hasilnya sudah dijual bukan lagi eksplorasi melainkan eksploitasi. Walaupun demikian UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No 4/2009) mengharuskan adanya AMDAL, jika akibat eksplorasi itu berdampak besar terhadap lingkungan sekitar. Jika kajiannya menunjukkan dampak eksplorasi tidak signifikan maka masih tetap diperlukan UPL/UKL. Apakah ijin eksplorasi yang diterbitkan sudah menyertakan AMDAL atau UPL/UKL? Hanya pemerintah yang tahu jawabannya.

Di samping itu, ijin masyarakat sekitar sebagai salah satu pemangku kepentingan adalah mutlak perlu dalam konteks social license, terlepas dari status kepemilikan tanah lokasi eksplorasi. Seharusnya, legal license dari pemerintah diberikan dengan memperhatikan aspek penerimaan masyarakat lokal. Di sinilah pemerintah perlu berperan sebagai wasit yang adil bagi setiap warga negara bukan maju tak gentar menyokong pemodal. Sementara itu perusahaan yang tidak menghormati eksistensi masyarakat lokal tidak layak dipertahankan karena tidak mengemban prinsip – prinsip good corporate citizenship yang meliputi perlindungan lingkungan dan pengakuan hak – hak masyarakat lokal.

Namun demikian merupakan suatu spekulasi yan terlalu dini ketika ada yang beragumen bahwa tambang tidak berkelanjutan atau bahkan kontraproduktif terhadap industri pariwisata di Manggarai Barat. Tambang bisa bermanfaat secara berkelanjutan dan dapat berkontribusi positif terhadap bidang perekonomian lain jika dikelolah secara strategis dan integratif. Pemahaman sustainable dalam sektor extractive industry seperti tambang adalah lebih pada fungsinya yang berkelanjutan ketika digunakan untuk mengembangkan industri – industri turunannya. Sebagai contoh, sejarah pertambangan yang panjang di Australia dan Canada telah membantu mereka untuk mengembangkan industri dan ekonomi berbasis tambang yang sekarang ini mendominasi kegiatan pertambangan di negara – negara berkembang. Bahkan ada beberapa daerah bekas tambang di Australia dijadikan sebagai situs – situs pariwisata yang memperkaya objek wisata kota – kota tambang tertentu.

Pertanyaannya, apakah hal tersebut dapat diimplementasikan di Indonesia dan Manggarai Barat pada khususnya? Jawabannya adalah sangat bisa, dengan asumsi bahwa persyaratan – persyaratan yang termaktub dalam UU No 4 tahun 2009 diikuti secara baik. Hal yang tidak kalah penting adalah pihak – pihak yang bertentangan tidak berusaha mempertahankan posisi masing – masing, melainkan berusaha untuk mencari ‘common ground’ untuk kebaikan bersama.

Secara konkret, pemerintah harus membuka diri untuk melihat kembali IUP eksplorasi yang telah diterbitkan apakah, setidaknya secara normatif, telah memenuhi UU pertambangan atau tidak. Karena UU pertambangan yang baru diundangkan awal 2009 tersebut sangat komprehensif dalam aspek lingkungan, pembangunan berkelanjutan termasuk pengakuan hak masyarakat lokal. Pada saat yang sama pihak yang bersebarangan hendaknya tidak memasang harga mati untuk menolak tambang tanpa menyisahkan ruang negosiasi. Sebaliknya, semua stakeholders duduk bersama dengan kepala dingin melihat duduk persoalan kehadiran tambang bagi perekonomian dan peradaban wilayah tersebut.

Praktisnya, pemerintah dan masyarakat dapat meminimalkan kerusakan lingkungan bahkan menyelaraskan pertambangan dengan rencana strategi pengembangan wilayah, termasuk industri pariwisata daerah. Langkanya adalah intervensi pemangku kepentingan dalam pembuatan AMDAL, feasibility study atau studi kelayakan dan mine closure planning (rencana penutupan tambang). AMDAL memuat gambaran tentang menajemen dampak lingkungan termasuk di dalam bagaimana kerusakan lingkungan dikendalikan termasuk tailing atau limbah diperlakukan. Studi kelayakan mengandaikan AMDAL dan dokumen rencana penutupan tambang; karena suatu kegiatan pertambangan harus layak secara ekonomi, teknis dan lingkungan. Dokumen penutupan tambang memuat visi dan strategi perusahaan dalam menangani perubahan lingkungan, sosial dan ekonomi akibat terhentinya kegiatan pertambangan. Ketiga dokumen di atas jika dikerjakan dengan benar akan meminimalisir dampak negatif dari kegiatan pertambangan. Sayangnya, banyak kajian hanya dilakukan sekedar untuk memenuhi persyaratan normatif.

Bahkan stakeholders bisa menjadi shareholders agar bisa menentukan arah kebijakan operasional perusahaan. Hal ini mengandaikan bahwa perusahaan diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi untuk memastikan bahwa daerah tersebut layak atau tidak untuk dikembangkan sebagai suatu lokasi pertambangan. Hasil eksplorasi menjadi dasar untuk melakukan berbagai macam skenario keuangan maupun operasional yang dituangkan dalam ketiga dokumen di atas. Perlu diingat bahwa peluang untuk suatu kegiatan eksplorasi untuk bisa sampai pada tahap penambangan umumnya hanya berkisar 30 – 10 persen. Artinya dengan membiarkan pengusaha melakukan eksplorasi daerah diuntungkan dengan informasi yang dapat dipakai sebagai data perencanaan wilayah secara gratis walaupun tidak harus ditambang. Asalkan kita perlu mengawal agar kerusakan lingkungan yang terjadi selama eksplorasi direhabilitasi secara pantas.

Sebagai penutup, pemerintah daerah, pengusaha, masyarakat dan lembaga non pemerintah harus arif melihat persoalan pertambangan Manggarai Barat. Semua pihak perlu duduk bersama untuk mencari solusi alias corrective actions bukan mempertahankan posisi masing – masing. Semua yang berniat baik harus punya alternatif terbaik yang menguntungkan semua pihak, sehingga bisa duduk satu meja untuk bernegosiasi. Kalau semua dilandasi niat baik untuk Flobamora dan Manggarai Barat pada khususnya, mengapa tidak bisa dipersatukan? Jika tidak bisa dipersatukan pasti ada serigala berbulu domba. Semoga ketakutan ini tidak terjadi di bumi Flobamora. Karena kita semua berjuang dengan hati tanpa mengingkari akal sehat kita masing -masing***.