Wednesday 6 February 2013

Kembali ke Rumah Panggung
By Herman Seran


Suatu ironi yang menggelitik terbersit dari berita TV Belu (9/2/08), yang menyatakan bahwa salah satu kebutuhan masyarakat Malaka Barat, yang sementara ini terkena bencana banjir Benenai adalah rumah panggung. Pernyataan ini memang ironis karena rumah panggung sendiri adalah rumah tradisional masyarakat Belu Selatan. Tetapi mengapa rumah panggung saat ini seolah berubah menjadi barang langkah bagi masyarakat yang telah mendapat jatah tahunan rutin banjir bandang Sungai Benenai ini?
Jawabannya adalah strategi pembangunan yang bersifat ‘copy-paste’ akan menghasilkan hasil yang tidak maksimal bahkan kemunduran. Dalam perspektif yang lebih positif, pembangunan yang menghargai kearifan lokal (local wisdom) akan menyokong prinsip keberlanjutan (sustainability). Sayangnya, pembangunan pemukiman di Malaka Barat telah menafikan kristalisasi proses adaptasi (tacit knowledge) Bani Wewiku – Wehali, yang menjadikan rumah panggung menjadi pilihan yang paling tepat, untuk meredam keganasan banjir bandang sungai Benenai. Karena di balik keganasan banjir Sungai Benenai ini, endapan lumpur yang dibawanya dari segenap penjuruh Pulau Timor menyuburkan lembah yang pernah menjadi pusat kerajaan Wewiku - Wehali yang pernah berpengaruh di jagat Nusantara.
Satu hal yang patut disyukuri bersama, adalah bahwa kebutuhan korban banjir akan kehadiran rumah panggung, menjadi antitesis bagi paradigma sempit, yang menganggap sesuatu yang datang dari luar selalu lebih baik. Pemahaman yang sama tidak terkecuali bagi konstruksi rumah – rumah masyarakat Belu Selatan yang diadopsi dari luar. Seruan masyarakat korban banjir merupakan representasi kesadaran akan keunggulan tradisi nenek moyang yang telah teruji sejak berabad – abad lamanya. Rumah panggung merupakan opsi yang paling ramah lingkungan (environmental friendly) bagi kehidupan di lembah sungai, termasuk Malaka Barat. Rumah panggung bukan saja tipikal rumah Belu Selatan, tetapi dapat ditemui pada sebagian besar kebudayaan yang berkembang di sepanjang daerah aliran sungai. Karena konstruksi rumah panggung, selain melindungi penghuni dan harta bendanya dari banjir, memungkinkan air mengalir secara leluasa, dan memberi ruang yang terbuka bagi peresapan dan penguapan.
Pernah ada selentingan untuk memindahkan masyarakat Malaka Barat yang rawan banjir seperti Lasaen, Fafoe dan Umatoos ke tempat lain yang bebas banjir. Tawaran semacam ini merupakan suatu pilihan yang tidak bertanggung jawab. Program migrasi ini mengajak masyarakat untuk berlari dari tantangan, bukan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Lebih parah lagi, tawaran ini tidak sensitif terhadap budaya lokal masyarakat Wewiku – Wehali (culturally insensitive). Mengapa demikian? Karena kampung Lasaen adalah pusat kerajaan (tafatik) Wewiku. Dengan memindahkan masyarakat Lasaen dan sekitarnya, sama dengan mengkhianati eksistensi kerajaan Wewiku secara umum. Dengan demikian ide transmigrasi adalah suatu pemikiran yang tidak mendidik bahkan cenderung destruktif.
Daripada menghabiskan energi memikirkan pilihan – pilihan yang tidak jelas kemaslahatannya, alangkah baiknya pemerintah mengalokasikan sumber daya untuk menyokong masyarakat Malaka Barat untuk kembali ke budaya atau tradisi rumah panggung. Dukunglah masyarakat menemukan kembali (reinventing the wheel) teknologi moyangnya yang telah terpinggirkan oleh arus modernisasi. Nenek moyang mereka telah mampu mengembangkan konstruksi rumah yang ramah lingkungan dan unggul mengatasi bencana, yang menyebabkan mereka mampu menikmati sisi positif dari banjir itu sendiri. Leluhur mereka sungguh sadar, bahwa hidup enak juga punya konsekuensi negatifnya (negative and positive impacts are inextricably linked to each other). Tugas manusia dengan teknologinya adalah untuk meminimalisasi nilai negatif dan mengoptimalkan nilai positifnya. Rumah panggung adalah bentuk teknologi yang mengurangi efek negatif banjir bandang.
Rumah panggung dengan kolongnya memungkinkan air dapat mengalir secara leluasa ke tempat yang lebih rendah. Konstruksi rumah - rumah permanen saat ini secara signifikan telah menaikkan muka air dan menghambat laju air. Air yang mengalir daerah yang mempunyai kelerengan yang relatif kecil sangat terpengaruh oleh hambatan sekecil apapun. Dengan sendirinya, tanpa mempertimbangkan faktor lain, banjir yang semakin kerap di Belu Selatan sedikit banyak adalah kontribusi dari konstruksi perumahan yang diadopsi masyarakat Malaka Barat saat ini. Secara sederhana dapat dilihat bahwa ada perbedaan muka air yang sangat menyolok dan lama tergenang pada bahu jalan yang berdekatan dengan sungai daripada sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa jalan dan rumah – rumah sekitarnya telah menjadi tanggul yang meningkatkan muka air dan menghambat laju aliran air yang seharusnya bebas mengalir.
Hal positif kedua yang menjadikan rumah panggung ramah lingkungan adalah bidang peresapan dan penguapan yang disebabkan oleh ruang terbuka (kolong) rumah panggung tersebut. Semakin banyak bidang peresapan dan penguapan semakin cepat pula air mengering. Rumah jenis lain tidak memberi ruang terbuka bagi peresapan dan penguapan. Akibatnya adalah potensi banjir besar akan lebih kerap terjadi karena walaupun jumlah air yang datang relatif sedikit, namun akan menjadi banyak karena sisa air yang tertahan, lama meresap dan lambat menguap. Jika faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus), konstruksi rumah yang semakin banyak menyisahkan ruang peresapan dan penguapan akan mengurangi potensi banjir.
Argumen – argumen di atas mengarah pada satu kesimpulan bahwa konstruksi rumah panggung memenuhi dua aspek disaster management concept yang selama ini dikampanyekan para ahli bencana. Dua aspek tersebut adalah aspek mitigatif and aspek preventif. Karena itu, saatnya semua pihak termasuk pemerintah mengkampanyekan program kembali ke rumah panggung di daerah – daerah rawan banjir. Tindakan nyata pemerintah adalah memberikan insentif kepada setiap warga yang menjadikan rumah panggung sebagai pilihan. Segenap komponen masyarakat harus mengambil bagian secara aktif mempromosikan ide kembali ke rumah panggung. Sebab, adalah kemunduran jika meninggalkan lembah yang subur ini hanya karena alasan banjir. Dengan teknologi yang lebih maju seharusnya masyarakat jaman ini lebih mampu mengatasi banjir daripada nenek moyang masyarakat Wewiku – Wehali yang hidup dengan teknologi primitif dan tradisional seadanya.
Kesimpulannya, nenek moyang masyarakat Wewiku -Wehali telah mampu membangun peradaban yang terkenal di seantero Nusantara di lembah ini. Dan salah satu pilar kesuksesan itu adalah konstruksi rumah panggung yang menghindari mereka dari efek negatif sungai Benenai. Karena di balik malapetaka ada berkah yang melimpah yang mampu menyokong keberlangsungan peradaban yang telah berabad lamanya tak lekang oleh banjir. Maka kini saatnya turunan mereka belajar dari kesuksesan leluhurnya untuk membangun suatu kehidupan baru yang ramah lingkungan. Kehidupan baru yang memberi tempat kepada teknologi rumah panggung warisan nenek moyang yang telah teruji keampuhannya. Prinsip ‘jas merah’, jangan melupakan sejarah, harus menjadi landasan membangun peradaban yang berkelanjutan.

Saturday 26 January 2013

REVITALISASI SEKTOR SOSIAL EKONOMI DI LEMBAH WEWIKU - WEHALI


By Herman Seran

Jared Diamond dalam bukunya Guns, Germs and Steel (2005) memaparkan bahwa peranan kondisi geografis sangat krusial dalam pola penyebaran peradaban bangsa manusia di seluruh dunia. Lebih lanjut Francis Fukuyama dengan bukunya The Origins of Political Order (2011), beragumentasi bahwa sejarah munculnya institusi politik atau pemerintahan sebagai buah dari peradaban manusia, sangat ditentukan oleh parameter – parameter topografi yang membatasi ruang gerak kelompok – kelompok manusia nomaden hingga memaksa mereka untuk membentuk konsensus untuk hidup bersama dalam ikatan yang tidak berdasarkan garis keturunan. Dalam terang pemikiran ahli geografi dan ahli politik tersebut, penulis hendak mendeskripsikan historis peranan Sungai Benenai bagi maju dan mundurnya peradaban kampung – kampung sepanjang bantaran sungai tersebut. Kedua, penulis beragumentasi tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh kehadiran S. Benenai yang kemudian disusul dengan kehadiran jembatan Benenai pada pertengahan tahun 1980-an. Terakhir, akan ditawarkan solusi untuk merevitalisasi sector sosial dan ekonomi di lembah Benenai yang subur tersebut.

Pengalaman penulis yang lahir dan besar di Wewiku – Wehali mempertegas pengamatan para ahli tentang bagaimana kondisi geografi dan pola transportasi mempengaruhi maju mundurnya peradaban di suatu wilayah. Keberadaan S. Benenai yang kemudian tersedianya jembatan Benenai di ujung Haitimuk pada awal tahun 1980an, sangat mempengaruhi kemajuan dan interkonektivitas kampung – kampung sepanjang muara S. Benenai. Observasi penulis dalam kurun waktu akhir 1970-an hingga tahun 2013 menggambarkan bahwa banyak hal positif yang telah dinikmati dari kehadiran Sungai Benenai dan Jembatan Benenai. Namun pada saat yang sama, ada dampak negatif yang muncul akibat keberadaan Sungai Benenai dan Jembatan Benenai. Misalnya, banjir yang membawa humus dari pegunungan menyuburkan lembah Wewiku – Wehali, tetapi banjir bandang sering menjadi ancaman bagi harta dan bahkan nyawa manusia. Kanalisasi alur transportasi ke bagian barat dengan hadirnya jembatan telah mengubah pola mobilitas masyarakat yang berdampak pada matinya beberapa pusat pertumbuhan sebelum tahun 1980-an.

Banyak penulis berpendapat bahwa Wewiku – Wehali mampu menjadi pusat kekuasaan yang terbesar di daratan Timor bahkan Sunda Kecil pada masa lampau, sangat dipengaruhi oleh keberadaan Sungai Benenai. Widiyatmika (tt), misalnya, berpendapat bahwa Motadikin telah menjadi pelabuhan perdagangan Cendana terbesar di daratan Timor jauh sebelum abad XV, bahkan S. Benenai di musim kemarau merupakan jalan untuk mengangkut Cendana ke muara. Demikian juga penulis lain seperti Therik dan Fox juga berpendapat sama bahwa lembah Benenai yang subur ini telah menjadi pusat kerajaan di Timor dengan bentuk kekuasan yang paradoksal (the power of the powerlessness) (bdk. Fox, 1996). Peranan luar biasa S. Benenai tersebut, secara metaforik tergambar dalam cerita “Na’an Oan dan Ai knotak”. Dikisahkan bahwa Sungai Benenai tercipta sebagai sarana komunikasi antara Sang Pangeran di Pegunungan Mutis dan Sang Puteri yang berada di Lembah Wewiku-Wehali. Bahwa banjir dari gunung mengirimkan kayu bakar (Ai knotak) untuk berdiang sang puteri yang baru melahirkan, sebagai balasannya sang puteri mengirimi beras dalam bentuk nener yang muncul pada bulan Mei – Juni setiap tahun sebagai Na’an Oan.

Ketika musim banjir, bukan saja kayu bakar yang dikirimnya, tetapi juga meninggalkan dampak ekonomi dan sosial yang tidak sedikit dan berkelanjutan. Harta benda dan ternak yang hanyut terbawa banjir, menurunkan semangat usaha dan kerja mereka yang tinggal di lembah nan subur ini. Banjir tidak hanya menghilangkan harta benda, tetapi lebih serius lagi karena menumbuhkan rasa pesimis para petani dan peternak karena banjir akan merusaknya lagi setelah mereka pulihkan. Akibatnya, wilayah yang pernah menjadi sentra pertanian di Belu dan bahkan pernah dirancang untuk menjadi kota agropolitan ini, secara perlahan kehilangan produktivitasnya.

Banjir dan kemudian jembatan yang dibangun pada pertengahan 1980-an yang mengubah pola pergerakan manusia, justeru menjadikan beberapa kampung Wewiku – Wehali sepanjang bantaran Benenai menjadi kota mati (ghost town). Kampung – kampung seperti Besikama dan Bolan sekarang menjadi yang ditinggalkan, walaupun pada awal tahun 1980-an menjadi pusat pertumbuhan. Misalnya, Rumah Sakit Marianum yang dikelola Komunitas SSpS di Besikama mengalami penurunan peranan hingga ditutup, sedikit banyak karena bergesernya jalur transportasi akibat terbangunannya jembatan dan bencana banjir. Kampung – kampung yang dipisahkan oleh S. Benenai yang dulu terhubungkan satu sama lain dengan jalan kaki dan berkuda menyeberang sungai, sekarang menjadi susah dijangkau karena masyarakat beralih ke moda transportasi kendaraan bermotor, yang susah menyeberang sungai. Motaulun dengan Angkaes yang berdekatan, Taelama dengan Lasaen, Sukabilulik dengan Manumuti menjadi sulit terkoneksi satu sama lain karena untuk berkunjung mereka harus melewati jembatan di Haitimuk, walaupun jarak antara kampung – kampung tersebut hanya selebar sungai Benenai. Di sinilah, peranan kondisi geografis menghambat interaksi antara pusat – pusat peradaban, yang diperburuk oleh rekayasa teknik, dalam hal ini jembatan.

Situasi ini jika dibiarkan secara berkelanjutan akan mematikan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat sepanjang bantaran S. Benenai di Wewiku Wehali. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekayasa teknik untuk mengembalikan performa pusat – pusat pemukiman tersebut. Hal ini menjadi lebih penting lagi, karena terbentuknya Kabupaten Malaka dan ibukotanya Betun, perlu disokong oleh pusat – pusat pertumbuhan di periferi kota. Karena itu, rekayasa yang perlu dilakukan adalah mengeliminasi dampak negatif banjir Benenai dan menghubungkan kembali pemukiman – pemukiman yang telah terputus satu sama lain dengan cara pelurusan S Benenai dan pembangunan Jalan Lingkar Selatan.

Langkah pertama adalah pelurusan S. Benenai yang akan dilakukan pada lokasi yang sering merupakan jalur banjir yang terbesar dan jarak terdekat ke muaranya. Dari pengukuran kasar pada citra satelit, jarak pelurusan tersebut kurang lebih delapan kilometer. Jarak ini merupakan jarak antara tikungan yang paling tajam tempat berawalnya pola aliran berkelok-kelok (meandering) pada dataran banjir hingga muara sungai di Laut Selatan saat ini. Secara umum arah normalisasi kanal dimulai dari pelurusan badan sungai start dari depan gereja Kleseleon mengarah ke tenggara, kemudian membelah di antara Gereja Protestan Maktihan dan Kantor Camat Malaka Barat, menuju ke muaranya di Laut Selatan. Mempertimbangkan potensi biaya, dampak negatif, dan dampak positif yang ditimbulkan dari projek pelurusan ini, maka jarak delapan kilometer, secara empiris sangat layak untuk dikerjakan. Karena dengan pelurusan maka daerah potensi atau limbasan banjir menjadi lebih kecil, badan sungai relatif lebih sempit sehingga bisa dilakukan pengelolaan daerah aliran sungai (manajemen DAS), dan tentu saja dapat dibuatkan jembatan untuk menghubungkan daerah – daerah di sebelah timur, baik di utara maupun selatan S Benenai. Langkah berikutnya adalah pembuatan jalan lingkaran selatan mulai dari Weoe – Webriamata – Wemean – Besikama – Sukabilulik – Bolan – Betun. Jalan ini akan dilengkapi dengan jembatan yang relatif pendek karena hanya menyeberang kanal hasil rekayasa yang sempit.

Hal utama yang perlu dilakukan adalah kajian kelayakan teknis dan analisis sosial ekonomi yang komprehensif untuk mengkuantifikasi untung rugi projek tersebut (cost-benefit analysis) oleh team yang kompeten dan terlebih independen. Langkah berikutnya adalah sosialisasi projek secara transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat terutama mereka yang bakal tergusur. Mereka yang terkena dampak harus diberi kompensasi yang lebih dari layak, setelah dengan sadar memahami pentingnya projek ini bagi kepentingan bersama. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah definisi ulang peran mistis S. Benenai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban dan budaya Wewiku Wehali. Dengan demikian, antara pembangunan dan kebudayaan tidak saling mengorbankan.

Untuk mengakhiri pemaparan ini, penulis berpendapat bahwa kondisi geografis sangat menentukan pola perkembangan pembangunan dan kebudayaan. Peranan manusia yang diberi akal budi oleh Tuhan adalah untuk memodifikasi hambatan – hambatan alam untuk memastikan keberlanjutan peradaban manusia tanpa mengabaikan daya dukung lingkungan dan sustainabilitas. Intervensi manusia dan kondisi geografis dapat memberikan dampak negatif, tetapi pada saat yang sama juga berkontribusi positif. Tugas rekayasa keteknikan adalah melakukan intervensi pada kondisi alam yang bertujuan meminimalisir dampak negatif dan mengamplifikasi dampak positif bagi alam dan manusia. Projek pelurusan S. Benenai dan Jalan Lingkar Selatan pasti ada kerugiannya, tetapi merupakan mitigasi bencana banjir dan juga merevitalisasi perekonomian dataran Wewiku – Wehali secara keseluruhan. Karena itu dibutuhkan kearifan semua pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada perencanaan yang matang dan komprehensif.
AWASI PENGIJONAN PROJEK IBUKOTA MALAKA

By Herman Seran

Pembangunan ibukota suatu daerah otonomi baru (DOB) ternyata membutuhkan biaya yang sangat besar dan berlangsung beberapa tahun anggaran (multiyear). Itulah hasil observasi penulis mengikuti pembangunan suatu ibukota kabupaten baru di wilayah timur Indonesia. Anggaran dan projek yang masif tersebut sangat potensial menggerakkan ekonomi setempat alias efek ekonomi berganda (economic multiplier effect) dan manfaat lain jika dikelola secara massal. Namun demikian, dana dan projek besar tersebut sangat potensial untuk ‘diijonkan’ calon bupati kepada kontraktor (pengusaha) dan para pencari posisi (pegawai negeri dan politisi lain) di pemerintahan masa depan. Penyalahgunaan wewenang semacam ini sebaiknya tidak boleh terjadi pada DOB Malaka, yang telah diperjuangkan dengan keringat dan air mata semua pihak di Malaka dan luar Malaka.

Mengapa Projek Pembangunan Ibukota Malaka dapat diagunkan? Modus umum yang dilakukan untuk mengumpulkan dana kampanye, dan pada gilirannya mengumpulkan suara lewat kerja keras team sukses, termasuk para bakal calon bupati Malaka, adalah kolaborasi dengan penyandang dana (berminyak) dan pemilik massa (berkeringat). Projek ibukota bisa dibagi – bagi antara para bakal pejabat birokrasi sebagai insentif kepada mereka untuk mengkampanyekan sang calon bupati. Pada saat yang sama, dana dan projek yang besar bisa digadaikan kepada para pengusaha untuk mendapatkan dana kampanye bahkan untuk ‘money politics’. Projek sebesar itu sangat seksi untuk dikomodifikasikan bagi politisi untuk ditukarkan jabatan politik.

Namun sebaliknya, dana pembangunan yang bernilai ratusan miliar rupiah dan berkelanjutan secara multiyear, sangat potensial untuk menggerakkan roda pembangunan dan perubahan sosial di DOB yang masih sangat membutuhkan dana yang besar untuk pembangunan. Projek yang besar itu jika dikerjakan oleh masyarakat akan memberikan efek ekonomi berganda yang sangat besar, di samping memberi ketrampilan pertukangan dan manajemen projek. Tenaga kerja dan material lokal didatangkan dari setiap desa, dengan manajemen pada tingkat desa atau kampung, akan sangat berarti bagi desa – desa di Malaka. Sementara pengawasan dilakukan oleh pemerintah menggandeng kaum intelektual Malaka yang berada di luar Malaka maupun di Malaka. Strategi model ini akan sangat positif menggerakkan roda ekonomi lokal dan menjadi media transfer teknologi dan ilmu pengetahuan (technology and knowledge transfer) kepada masyarakat di Malaka.

Bagaimana ide ini bisa diimplementasikan di lapangan? Pertama – tama setiap desa akan didirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Berikutnya, BUMDes dari setiap desa akan bertanggung jawab dalam pembangunan salah satu bagian dari Projek (gedung, jalan atau bangunan fisik lainnya). Pemerintah daerah menyediakan desain dan tenaga ahli untuk mengawasi proses pembangunan sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku. Pemerintah secara sengaja membentuk dewan pengawas ahli yang merupakan kumpulan kaum intelektual Malaka yang tersebar di seantero jagat untuk bekontribusi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di desa masing – masing. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial kaum intelektual kepada kampung halaman. Dengan demikian semua pihak bersinergi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan ibukota Malaka dan keuntungan secara optimal dikembalikan kepada masyarakat untuk menggerakkan roda perekonomian desa, daripada dinikmati oleh segelintir orang.

Apa untungnya bagi Malaka dan masyarakat Malaka? Pertama, dana yang besar dikembalikan kepada masyarakat desa akan menjadi motor pembangunan desar yang signifikan. Desa bisa mempunyai dana yang cukup untuk meningkatkan taraf hidup (standar of living). Mereka bisa menggunakan dana untuk membangun desa lewat APBDes. Pada saat yang sama penghasilan yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja dan material lokal akan menjadi dana segar untuk memperbaiki kualitas hidup (quality of life) dan menyekolahkan anak – anak ke tingkat yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, masyarakat desa mendapatkan memontum pengalaman dalam pertukangan dan pengelolaan projek yang pada gilirannya mereka mampu untuk mereplikasinya dalam hidup harian mereka.

Kedua, keterlibatan masyarakat desa dalam pembangunan ibukota Malaka akan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap infrastruktur yang ada. Eksistensi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan diamplifikasi dengan melibatkan merekan secara aktif dalam pembangunan ibukota Malaka. Ini sekaligus merupakan satu bentuk restorasi kedaulatan rakyat Malaka atas daerahnya sendiri. Apalagi, jika setiap bangunan yang dibangun oleh masyarakat akan dinamai dengan nama desa – desa atau kampung – kampung yang ada di Malaka. Betapa tidak membanggakan ada Gedung As Manulea atau Jl. Loro Haitimuk atau Jembatan Litamali.

Ketiga, keterlibatan kaum intelektual Malaka dalam proses pembangunan Ibukota merupakan momentum partisipasi dan intensifikasi tanggung jawab sosial intelektual bagi kampung kelahiran Mereka, Kabupaten Malaka. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan bahwa projek tidak merugikan desa dan tidak mengurangi kualitas yang keteknikannya. Pemerintah Kabupaten Malaka bersama jajarannya memastikan bahwa kaum intelektual dari setiap desa atau kampung menjadi pendorong dan penasehat bagi desa masing – masing untuk menghasilkan projek yang berkualitas dan terjadi alih teknologi dan alih ilmu pengetahuan pada desa tersebut. Sementara, ini merupakan satu kebanggaan bagi kaum intelektual yang selama ini hampir tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan daerah dan sekarang mereka menjadi bagian dari penyelesaian masalah (problem solving) pembangunan.

Yang terakhir, keterlibatan berbagai pihak bukan untuk mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah, melainkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pembangunan yang harus menjadi visi tata kelola Kabupaten Malaka ke depan. Dengan terlibatnya banyak pihak dari perencanaan hingga pembangunan bahkan di tingkat desa, peluang untuk penyalahgunaan dapat diperkecil. Pemerintah menjadi lebih berwibawa karena mampu memobilisasi berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan tidak dicurigai sebagai koruptor.

Kesimpulannya, semua pihak harus mengawasi bersama penggunaan dana pembangunan ibukota malaka karena sangat rawan korupsi. Bahkan, sebaiknya projek itu diserahkan kepada masyarakat desa dengan pengawasan kaum intelektual dan pemerintah. Harapannya adalah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, satu peluru bisa menembak beberapa target. Ibukota berdiri, masyarakat desa makmur, kaum intelektual berpartisipasi, wibawa pemerintah terangkat lewat strategi yang partisipatif, akuntabel dan transparan. Salam Restorasi Malaka!

Tuesday 27 July 2010

Tambang: Yes! Kebijakan dan Praktek Tambang Buruk: No!

Industri pertambangan NTT sedang menjadi sorotan akhir - akhir ini. Permasalahan kebijakan pertambangan yang tidak komprehensif hingga praktek pertambangan yang sarat pelanggaran hukum, bercampur aduk dengan kekuatiran akan dampak negatif lingkungan dan sosial pertambangan menjadi topik media massa dan diskusi para pemerhati. Bahkan tidak ketinggalan sekelompok tokoh agama menyeruhkan pembebasan NTT dari segala macam pertambangan (Pos Kupang Online, 12/7/10). Penulis berpendapat bahwa menyatakan tidak sama sekali untuk tambang di NTT, adalah pengkhianatan akan realitas dan sejarah peradaban manusia modern, dan tidak akan menyelesaikan persoalan secara efektif. Alih – alih memboikot kegiatan pertambangan di NTT, akan lebih konstruktif jika energi dan waktu diarahkan kepada advokasi desain kebijakan dan pengawasan praktek pertambangan untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan dampak negatif yang minimum.
Mengapa “say no to mine” adalah suatu bentuk pengingkaran realitas sosial dan cenderung suatu bentuk kemunafikan yang tidak menyelesaikan masalah? Tulisan ini akan mengelaborasi fakta ketergantungan umat manusia terhadap pertambangan. Selanjutnya disodorkan beberapa fakta bahwa pertambangan juga menjadi biang kerok degradasi kualitas lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, untuk meletakkan persoalan pada perspektif yang berimbang. Bagian ketiga memberi argumentasi tentang perlunya kebijakan industri pertambangan yang terintergrasi dengan strategi pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Karena menyeruhkan stop pertambangan tanpa memboikot produk tambang pada dasarnya adalah bentuk perlawanan setengah hati bahkan basa - basi.

Pertambanganan adalah soko guru peradaban manusia
Sulit dibayangkan apa jadinya kehidupan kita tanpa industri pertambangan, walau banyak orang alergi mendengar kata ”tambang”. Ibarat lagu ”benci tetapi rindu” bahkan ketagihan, itulah hubungan manusia dengan tambang. Betapa tidak, hampir tidak ada satupun sendi kehidupan modern terlepas dari kontribusi hasil eksploitasi isi perut ibu pertiwi. Bahkan sangat paradoksal ketika sementara orang menggunakan produk pertambangan untuk menfasilitasi advokasi anti tambang. Sebagai contoh, kita tidur di rumah yang dikonstruksi dengan batu, semen, logam, dan kaca, yang dilengkapi dengan perabotan lain yang selalu ada kandungan hasil tambangnya. Selanjutnya, sebelum keluar rumah kita berkomunikasi dengan telepon genggam kemudian menumpang kendaraan yang menggunakan logam dan mienral lain sesuai intensitasnya. Singkatnya, dari rumah sampai masuk kembali ke rumah manusia selalu bersentuhan dengan bahkan tergantung pada hasil tambang.
Ketergantungan ini bukan hanya ciri jaman modern, tetapi sejak lama produk tambang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia. Sewaktu hidup di gua – gua pun manusia purba menggunakan bebatuan sebagai peralatan untuk meramu dan berburu. Saking pentingnya arti hasil tambang, sejarah peradaban manusia dikategorikan berdasarkan perkembangan konsumsi jenis barang tambang. Jaman batu adalah masa dimana batu menjadi peralatan utama manusia, disusul dengan jaman logam seperti jaman tembaga dan jaman perunggu ketika manusia telah mampu mengekstrak mineral logam dari batuan untuk kepentingan sehari – hari. Lebih lanjut revelusi industri tidak bisa lepas dari penemuan mesin uap dengan batubara sebagai bahan bakarnya. Contoh di atas menjadi indikasi bahwa tambang adalah realitas, yang mau atau tidak harus diterima.
Dalam konteks Indonesia, pertambangan telah lama menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2009 lebih tiga puluh persen pendapatan negara (APBN) disumbang oleh pertambangan dan energi (Marpaung, 2010, pers com). Belum lagi lapangan kerja yang diciptakan oleh industri pertambangan yang juga berkontribusi mengurangi jumlah pengangguran di tanah air sekecil apapun itu. Pertambangan juga berperan dalam membuka keterisolasian daerah – daerah pedalaman yang hampir tidak tersentuh oleh aktivitas ekonomi lain bahkan pemerintah sekalipun. Misalnya, dua kampung masyarakat lingkar tambang di sebuah pulau, di Maluku Barat Daya, baru menikmati investasi listrik setelah 65 tahun Indonesia merdeka, berkat kegiatan community development sebuah perusahaan eksplorasi di daerah itu pada tahun 2010.
Kegiatan pertambangan mangan di daratan Timor dan sekitarnya dengan segala kebobrokannya, telah membuka alternatif penghidupan baru bagi masyarakat NTT. Kegiatan pertambangan memberi peluang diversifikasi mata pencaharian yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Kenyataan ini perlu diterima sebagai anugerah Tuhan yang perlu disyukuri dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara bertanggung jawab. Dengan kata lain, penolakan mutlak terhadap tambang dengan sendirinya adalah pengingkaran terhadap keunggulan kompetitif yang seharusnya menjadi modal untuk memacu kesejahteraan masyarakat. Namun, benar bahwa keunggulan kompetitif berbasis alam perlu dikembangkan dengan menpertimbangkan aspek manfaat yang diselaraskan dengan daya dukung lingkungan.

Sisi Gelap Pertambangan
Fakta dan sejarah membuktikan bahwa tidak ada satu pilihan yang seratus persen baik, termasuk pertambangan. Para ahli ekonomi sosialis mengibaratkan aspek positif dan negatif suatu pilihan seperti kedua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Akibatnya, mereka mengkritik pemikiran ekonomi kapitalis yang memperlakukan aspek negatif sebagai eksternalitas (externalities). Sebagai misal, listrik adalah sesuatu yang sangat esensial bagi kehidupan manusia modern; tetapi jika tidak dikelolah dengan baik bisa membawa malapetaka seperti kebakaran. Pertambangan pun memiliki sisi negatif yang dapat merugikan lingkungan, sosial, dan ekonomi jika tidak dikelolah secara baik pula.
Industri pertambangan dan kegiatan ikutannya rentan merusak lingkungan. Kegiatan pertambangan harus diakui mengganggu kesetimbangan lingkungan, setidaknya untuk waktu yang singkat. Ada tiga sumber kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan yakni, pertama dalam proses produksi seperti pembukaan lahan, limbah yang dibuang seperti ’tailing’ dan batu penutup (overburden) dan limbah lain selama produksi. Contohnya adalah kegiatan pertambangan permukaan (open pit) yang mengubah topografi sekitar dan pembuangan limbah proses ke alam bebas. Sumber kedua adalah pembuangan yang disebabkan oleh konsumsi produk tambang yang tidak sempurna seperti emisi buangan dari pembakaran batubara atau minyak bumi atau bangunan dan besi tua (scraps) yang dibiarkan teronggok. Kerusakan lingkungan yang nyata di Indonesia adalah tapak – tapak tambang yang dibiarkan terbuka di daerah Kalimantan atau tailing yang dialirkan bebas di sungai seperti di Papua. Sedangkan emisi kasus lingkungan yang kedua seperti karbon monooksida yang dipercaya merusak ozon. Yang ketiga, pertambangan pun dapat menyebabkan malapetaka lingkungan akibat salah kelolah atau kondisi alam yang tidak terdeteksi oleh sistem mitigasi yang ada. Contoh di kecelakaan di luar negeri adalah kasus tumpah minyak di Teluk Meksiko Amerika serikat yang melibatkan perusahaan minyak raksasa, British Petroleum. Sementara semburan lumpur dari sumur explorasi Lapindo Brantas adalah contoh klasik kecelakaan dalam negari yang belum dapat ditanggulangi sampai saat ini.
Pertambangan sering juga menuai suara minor akibat dampak sosial yang ditimbulkannya. Pelanggaran hak asasi manusia, kemampuannya mempengaruhi independensi pengambil kebijakan publik, kerusakan kebudayaan lokal dan penggerogotan institusi sosial adalah beberapa masalah sosial pertambangan. Misalnya, tambang banyak dituding menjadi sumber konflik bersenjata di beberapa negara benua Afrika. Contoh yang paling hangat di NTT adalah kehadiran tambang yang memicu konflik horisontal antara mereka yang pro dan kontra pertambangan. Tidak ketinggalan adalah kecelakaan tambang akibat perlindungan pekerja yang minim kalau tidak dibilang tidak ada.
Sisi buruk lain yang bisa diulas adalah di bidang ekonomi. Ketergantungan yang berlebihan pada satu sektor perekonomian yang memiliki sirkulasi uang yang besar seperti pertambangan dapat merusak ekonomi secara jangka panjang atau yang disebut dengan Dutch disease. Dalam konteks NTT, Dutch disease dapat dijelaskan sebagai berikut. Jumlah uang yang besar dari pertambangan menyebabkan industri lain menjadi tidak kompetitif, sehingga ditinggalkan. Karena sifat pertambangan yang tidak terbarukan mengakibatkan perekonomian dapat collapse akibat terhentinya kegiatan pertambangan; sementara sektor lain menjadi tidak kompetitif dan sangat tergantung pada injeksi uang dari pertambangan. Fenomena ini dapat dilihat di Timor ketika masyarakat TTU meninggalkan ladang (baca: sektor pertanian) dan beralih kepada tambang mangan yang cepat menghasilkan uang segar. Dalam skenario terburuk, saat mangan habis lahan sudah tidak dapat dikelolah lagi karena telah diselimuti belukar; sementara harga barang menjadi mahal karena inflasi. Dalam skala nasional ini lebih kompleks karena melibatkan nilai tukar mata uang.

Adopsi UU No 4 tahun 2009 dan Mining Industry Best Practices
Melihat efek negatif pertambangan di atas maka kehadiran pertambangan perlu disikapi dengan hati – hati. Cara terbaik untuk menolak tambang adalah memboikot segala macam produk dengan konten tambang. Kenyataan dunia moderm menunjukkan bahwa kita belum dapat hidup tanpa hasil tambang. Sehingga, janganlah membakar rumah untuk mengusir tikus. Apa lagi kita menolak tambang di NTT, tanpa melepaskan diri dari produk tambang dan turunnya, hanya akan memindahkan pertambangan di bagian bumi yang lain. Pertanyaan etisnya, mengapa kita membiarkan tambang di tempat lain tetapi tidak di kampung sendiri.
Pertambangan, sebaliknya, harus dikelolah secara strategis untuk mendapatkan keuntungan yang optimum dengan dampak negatif yang seminim mungkin. Bila perlu kegiatan pertambangan di suatu daerah dihentikan jika memang net benefit bagi masyarakat negatif. Dengan kata lain, industri pertambangan dikembangkan dengan mempertimbangan keunggulan komparatifnya terhadap sektor ekonomi lainnya. Lagi pula karena sifat pertambangan yang ekstraktif, maka pertambangan yang tidak menguntungkan merupakan kerugian yang berlipat ganda. Tak laiknya industri lain, yang masih mungkin dioperasikan pada kondisi break even, karena pertambangan menguras asetnya (cadangan mineral) yang tak terbarukan. Semisal, nilai ekonomi pertambangan mangan bagi masyarakat, pemerintah dan pengusaha di Timor, jika ternyata tidak seimbang dengan biaya lingkungan, sosial dan ekonomi yang timbul karena kegiatan pertambangan, maka seharusnya dihentikan karena mangan habis tanpa membawa dampak positif ekonomi. Sebaiknya, dibiarkan hingga masyarakat cukup siap untuk mengelolah pertambangan secara menguntungkan di masa depan.
Untuk mendapatkan manfaat optimum aktivitas pertambangan dibutuhkan kondisi (kebijakan dan struktur sosial dan ekonomi) yang memungkinkan bagi praktek pertambangan yang bertanggung jawab (good mining practice). Suatu daerah yang hanya berlimpah sumber daya alam tanpa memiliki instrumen kebijakan pertambangan dan dukungan infrastruktur sosial yang memadai sulit menuai hasil optimal dari kehadiran kegiatan pertambangan, apa lagi dikelolah oleh pengusaha yang oportunis bermodal nekat. Pada hal sumber daya alam adalah jenis keunggulan kompetitif yang dikendalikan oleh lokasi keterdapatannya, sehingga pemanfaatannya dapat diarahkan untuk membuka sentra pertumbuhan ekonomi baru, membuka keterisolasian wilayah, dan menjadi landasan pengembangan wilayah dan ekonomi (inkubasi bisnis) daerah.
Pemerintah, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, perlu menyediakan kebijakan pertambangan (mineral policy) yang tepat, dan memastikan usaha pertambangan menyokong strategi umum pengembangan dan pembangunan wilayah. UU No 4 tahun 2009 mengharuskan ijin usaha pertambangan mengacu pada rencana umum tata ruang wilayah, menunjukkan bahwa pertambangan harus diintergrasikan dengan blue print pembangunan ekonomi suatu daerah. Sayangnya, dengan kapasitas yang terbatas dan kuasa berlebihan akibat otonomi daerah, pemerintah daerah berusaha mengeluarkan ijin usaha pertambangan tanpa melewati kajian yang komprehensif cenderung serampangan. Bahkan, beberapa kabupaten berusaha mengakali himbauan pemerintah pusat, untuk menghentikan sementara ijin pertambangan hingga UU Pertambangan tersebut dilengkapi dengan aturan pendukung yang memadai, dengan mengeluarkan ijin kuasa pertambangan secara back dated. Para pejabat demikian tidak lebih baik daripada pengusaha yang dituding rakus dan tidak bertanggung jawab karena merekalah yang biang kerok kejahatan pertambangan.
Jika UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan dan aturan turunannya diimplementasikan dengan baik, maka sangat mungkin industri pertambangan di daerah memberi kontribusi positif bagi pembangunan. UU ini telah cukup rinci memberi pedoman, baik bagi para pengambil kebijakan maupun pelaku usaha pertambangan. Sayangnya, pada tataran implementasi, kolusi pengambil kebijakan dengan pengusaha oportunis bermodal cekak, memunculkan pertambangan sebagai momok yang menakutkan. Contohnya, peluang ekspor mangan menyebabkan banyak kecelakaan tambang artisanal, bahkan melibatkan ibu hamil dan anak di bawah umur. Namun tidak terlihat jelas apa tanggung jawab dan tindakan pemerintah, sama kaburnya dengan tanggung jawab penadah yang jelas melanggar aturan, karena menerima dari sumber yang tidak sah.
Lantas apa yang harus dilakukan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, pengusaha dan stakeholders lainnya? Semua pihak perlu mengembangkan peran masing – masing untuk mendapatkan titik equilibrium bagi pertambangan, yang mengakomodasi kepentingan kaum anti tambang dan pro tambang. Pemerintah dalam tataran kebijakan perlu melakukan langkah strategis sebelum mengijinkan kegiatan pertambangan. Langka – langka yang terutama adalah berdasarkan peta geologi dan data pendukung lainnya menetapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Kemudian ditentukan daerah mana yang akan menjadi wilayah pertambangan. Wilayah pertambangan menjadi dasar pengeluaran ijin usaha pertambangan. Dari situlah pemerintah menyediakan perangkat peraturan dan merangsang berkembangnya institusi sosial dan ekonomi, yang memungkinkan pertambangan memberi dampak positif optimal dan negatif minimum. Pengembangan sumber daya manusia dan entitas sosial lain yang dapat meningkatkan efek ekonomi berganda pertambangan perlu direncanakan. Analisa opsi – opsi yang memungkinkan (option analysis) dan in put – out put analysis dapat diadopsi untuk mengkuantifikasi dan menentukan strategi yang optimal. Harapannya, pemerintah dapat mengambil keputusan yang dapat akuntabel dan ilmiah.
Pengusaha yang diijinkan adalah pengusaha visioner yang bersedia menerapkan good mining practice (praktek pertambangan yang bertanggung jawab). Good mining practice adalah metode pertambangan yang mengadopsi industry best practices, biarpun tidak ada peraturan pemerintah. Ironisnya, implementasi industry best practice menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi pengusaha lokal yang bermodal kolusif bukan uang, karena dibutuhkan uang yang besar. Industry best practice mengandaikan legal license and social license to operate berjalan simultan. Kedua ijin ini diperoleh dengan menjalani semua langka administrastif, teknis dan non teknis yang sebagian besar telah tercantum dalam UU pertambangan tahun 2009.
Misalnya, ijin usaha pertambangan (IUP) eksploitasi harus melewati tahap ekplorasi untuk mendapatkan data yang menjadi landasan teknis kajian kelayakan (feasibility study) yang menyangkut layak ekonomi, teknologi, dan lingkungan. Secara normatif, ada juga kewajiban AMDAL (environmental impact analysis) yang memuat secara khusus tentang kelayakan lingkungan. Mengingat sedikitnya sentuhan aspek sosial dalam kajian AMDAL, pengusaha diwajibkan untuk menyusun dokumen rencana pengakhiran tambang (mine closure plan) yang memuat rencana rona akhir kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi daerah setempat pasca tambang, serta kiat pengusaha untuk mewujudkan estimasi. Hal ini dibuktikan kesungguhannya dengan dana jaminan pengakhiran tambang, yang hanya bisa dicairkan jika kewajiban pengakhiran tambang telah memenuhi standar yang ditetapkan. Jelaslah, hanya dengan mengikuti persyaratan normatif ini saja sebagian good mining practice telah terpenuhi apa lagi mengadopsi best mining practice.
Elemen masyarakat lain yang anti tambang tidak seharusnya ditolak karena mereka adalah bandul penyeimbang system control sosial kita. Pemerintah dan pengusaha perlu melibatkan mereka dan memahami apa yang diinginkan (put your feet to their shoes). Pekerjaan rumahnya adalah menyelesaikan egoisme sektoral, yang menyebabkan kutub anti tambang dan pro tambang saling menarik simpati dengan propaganda negatif tidak berimbang. Praktek ini hanya memicu konflik horisontal masyarakat kecil yang sejatinya hanya ingin hidup yang lebih baik. Sudah saatnya, setiap elemen berhenti mengklaim kepemilikan atas kebenaran tunggal yang membingungkan masyarakat awam, karena hanya Tuhanlah yang memiliki kebenaran mutlak.
Kesimpulannya, pertambangan tak bedanya dengan bidang kehidupan lainnya, yang memiliki aspek aspek positif dan negatif. Realitas sejarah bersaksi pertambangan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian manusia sehingga menafikan tambang sama dengan mengkhianati peradaban. Pilihan yang paling realistik dan efektif adalah mengawal pertambangan dengan saksama untuk memastikan dampak positif yang optimal dengan efek negatif sekecil mungkin. Pilihan ini hanya berarti jika pertambangan diintegrasikan dengan rencana strategis pembangunan daerah, dan para pelaku bisnis pertambangan mengadopsi industry best practices. Sementara itu, suara – suara kritis melawan pertambangan haruslah tetap diberi ruang untuk terus menerus mengusik sona kenyamanan pelaku pertambangan dan pengambil kebijakan, demi perwujudan industri pertambangan yang makin jauh dari sifat barbarian dan makin ramah lingkungan dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat dalam operasinya. Semoga kita tidak membatasi mimpi untuk suatu NTT yang lebih baik yang mungkin datang lewat industri pertambangan.

Thursday 23 July 2009

MENGAWAL INDUSTRI PERTAMBANGAN DENGAN NURANI DAN AKAL SEHAT

Oleh Herman Seran

Kasus eksplorasi di Manggarai Barat menyiratkan dua perspektif yang menjadi pijakan dua belah pihak, mereka yang mendukung dan mereka yang menolak pertambangan. Dari berita – berita media massa, pemerintah dan pengusaha berpatokan pada konteks legal license to operate dan kelompok masyarakat yang didukung lembaga non pemerintah berpihak pada social license to operate. Sejatinya, dua aspek tersebut saling mendukung dalam praktek industri pertambangan modern. Sayangnya, arogansi sektoral dan pemahaman parsial dari pihak – pihak yang terlibat menjadikannya seolah dua dunia yang berbeda. Tulisan ini mencoba menawarkan solusi untuk mengurai benang kusut industri pertambangan NTT yang sangat ruwet dari tataran visi hingga prakteknya. Hal lain menjadi perhatian adalah pemahaman yang bias dari para penentang tambang yang berujung pada klaim – klaim spekulatif yang memojokkan para pendukung tambang seolah mereka adalah pengkhianat bumi Flobamora yang sama kita cintai.

Sejarah peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari peranan produk tambang dalam mendeterminasi arah perkembangannya. Peradaban kita diidentikkan dengan pemanfaatan hasil tambang dalam kehidupan kita. Tentu kita tidak lupa bahwa tahapan perkembangan kebudayaan manusia dijuluki dengan jaman batu, jaman tembaga, hingga revolusi industri yang ditandai dengan batubara sebagai pembangkit mesin uap. Bahkan, pada jaman informasi ini, telpon genggam, rumah tempat kita tinggal, kendaraan yang kita tumpangi hingga cincin kawin yang menjadi simbol ikatan suami istri tidak lepas dari produk tambang.

Sejak Indonesia merdeka, industri pertambangan tidak dipungkiri merupakan penyumbang yang sangat besar bagi keuangan negara Indonesia secara khusus. Misalnya, tahun 2008 industri pertambangan menyumbang sekitar Rp12 triliun sementara sektor kehutanan Rp3.8 triliun dan Kelautan Rp0.8 trilliun (Marpaung, pers com 2009). Perekonomian masyarakat NTT tentu akan banyak terbantu jika secara strategis mengembangkan industri pertambangannya, mengingat pertambangan adalah industri yang location driven. Artinya, kehadiran industri pertambangan di NTT bisa memicu sentra ekonomi baru dan diversifikasi sumber penghidupan yang pada gilirsannya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat NTT.

Namun perananan tambang dalam perekonomian tidak serta merta menafikan fakta bahwa ada potensi kerusakan lingkungan dan sosial yang bisa berdampak besar hingga menghancurkan perekonomian sendiri. Bahkan ketergantungan ekonomi berlebihan pada industri pertambangan dapat berakibat negatif pada perekonomian negara, seperti fenomena dutch disease dan Prebisch-Tsinger hypothesis. Akibatnya muncullah tesis resource curse atau kelimpahan sumber daya alam membawa petaka, yang sebenarnya bukan karena industri itu sendiri tetapi lebih karena salah urus ekonomi pertambangan. Melihat peranan pertambangan yang seumpama pedang bermata dua ini, maka pengembangan industri pertambangan tidak harus ditolak tetapi dikembangkan secara strategis dan melewati kajian – kajian yang komprehensif.

Kajian yang mendalam dan transparan dapat menghindari gelombang penolakan dengan alasan seperti yang selama ini dilansir media komunikasi di NTT. Ijin eksplorasi adalah ijin untuk melakuan penyelidikan untuk mengetahui layak tidaknya kegiatan dilanjutkan ke tahap penambangan. Artinya, jika hasilnya sudah dijual bukan lagi eksplorasi melainkan eksploitasi. Walaupun demikian UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No 4/2009) mengharuskan adanya AMDAL, jika akibat eksplorasi itu berdampak besar terhadap lingkungan sekitar. Jika kajiannya menunjukkan dampak eksplorasi tidak signifikan maka masih tetap diperlukan UPL/UKL. Apakah ijin eksplorasi yang diterbitkan sudah menyertakan AMDAL atau UPL/UKL? Hanya pemerintah yang tahu jawabannya.

Di samping itu, ijin masyarakat sekitar sebagai salah satu pemangku kepentingan adalah mutlak perlu dalam konteks social license, terlepas dari status kepemilikan tanah lokasi eksplorasi. Seharusnya, legal license dari pemerintah diberikan dengan memperhatikan aspek penerimaan masyarakat lokal. Di sinilah pemerintah perlu berperan sebagai wasit yang adil bagi setiap warga negara bukan maju tak gentar menyokong pemodal. Sementara itu perusahaan yang tidak menghormati eksistensi masyarakat lokal tidak layak dipertahankan karena tidak mengemban prinsip – prinsip good corporate citizenship yang meliputi perlindungan lingkungan dan pengakuan hak – hak masyarakat lokal.

Namun demikian merupakan suatu spekulasi yan terlalu dini ketika ada yang beragumen bahwa tambang tidak berkelanjutan atau bahkan kontraproduktif terhadap industri pariwisata di Manggarai Barat. Tambang bisa bermanfaat secara berkelanjutan dan dapat berkontribusi positif terhadap bidang perekonomian lain jika dikelolah secara strategis dan integratif. Pemahaman sustainable dalam sektor extractive industry seperti tambang adalah lebih pada fungsinya yang berkelanjutan ketika digunakan untuk mengembangkan industri – industri turunannya. Sebagai contoh, sejarah pertambangan yang panjang di Australia dan Canada telah membantu mereka untuk mengembangkan industri dan ekonomi berbasis tambang yang sekarang ini mendominasi kegiatan pertambangan di negara – negara berkembang. Bahkan ada beberapa daerah bekas tambang di Australia dijadikan sebagai situs – situs pariwisata yang memperkaya objek wisata kota – kota tambang tertentu.

Pertanyaannya, apakah hal tersebut dapat diimplementasikan di Indonesia dan Manggarai Barat pada khususnya? Jawabannya adalah sangat bisa, dengan asumsi bahwa persyaratan – persyaratan yang termaktub dalam UU No 4 tahun 2009 diikuti secara baik. Hal yang tidak kalah penting adalah pihak – pihak yang bertentangan tidak berusaha mempertahankan posisi masing – masing, melainkan berusaha untuk mencari ‘common ground’ untuk kebaikan bersama.

Secara konkret, pemerintah harus membuka diri untuk melihat kembali IUP eksplorasi yang telah diterbitkan apakah, setidaknya secara normatif, telah memenuhi UU pertambangan atau tidak. Karena UU pertambangan yang baru diundangkan awal 2009 tersebut sangat komprehensif dalam aspek lingkungan, pembangunan berkelanjutan termasuk pengakuan hak masyarakat lokal. Pada saat yang sama pihak yang bersebarangan hendaknya tidak memasang harga mati untuk menolak tambang tanpa menyisahkan ruang negosiasi. Sebaliknya, semua stakeholders duduk bersama dengan kepala dingin melihat duduk persoalan kehadiran tambang bagi perekonomian dan peradaban wilayah tersebut.

Praktisnya, pemerintah dan masyarakat dapat meminimalkan kerusakan lingkungan bahkan menyelaraskan pertambangan dengan rencana strategi pengembangan wilayah, termasuk industri pariwisata daerah. Langkanya adalah intervensi pemangku kepentingan dalam pembuatan AMDAL, feasibility study atau studi kelayakan dan mine closure planning (rencana penutupan tambang). AMDAL memuat gambaran tentang menajemen dampak lingkungan termasuk di dalam bagaimana kerusakan lingkungan dikendalikan termasuk tailing atau limbah diperlakukan. Studi kelayakan mengandaikan AMDAL dan dokumen rencana penutupan tambang; karena suatu kegiatan pertambangan harus layak secara ekonomi, teknis dan lingkungan. Dokumen penutupan tambang memuat visi dan strategi perusahaan dalam menangani perubahan lingkungan, sosial dan ekonomi akibat terhentinya kegiatan pertambangan. Ketiga dokumen di atas jika dikerjakan dengan benar akan meminimalisir dampak negatif dari kegiatan pertambangan. Sayangnya, banyak kajian hanya dilakukan sekedar untuk memenuhi persyaratan normatif.

Bahkan stakeholders bisa menjadi shareholders agar bisa menentukan arah kebijakan operasional perusahaan. Hal ini mengandaikan bahwa perusahaan diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi untuk memastikan bahwa daerah tersebut layak atau tidak untuk dikembangkan sebagai suatu lokasi pertambangan. Hasil eksplorasi menjadi dasar untuk melakukan berbagai macam skenario keuangan maupun operasional yang dituangkan dalam ketiga dokumen di atas. Perlu diingat bahwa peluang untuk suatu kegiatan eksplorasi untuk bisa sampai pada tahap penambangan umumnya hanya berkisar 30 – 10 persen. Artinya dengan membiarkan pengusaha melakukan eksplorasi daerah diuntungkan dengan informasi yang dapat dipakai sebagai data perencanaan wilayah secara gratis walaupun tidak harus ditambang. Asalkan kita perlu mengawal agar kerusakan lingkungan yang terjadi selama eksplorasi direhabilitasi secara pantas.

Sebagai penutup, pemerintah daerah, pengusaha, masyarakat dan lembaga non pemerintah harus arif melihat persoalan pertambangan Manggarai Barat. Semua pihak perlu duduk bersama untuk mencari solusi alias corrective actions bukan mempertahankan posisi masing – masing. Semua yang berniat baik harus punya alternatif terbaik yang menguntungkan semua pihak, sehingga bisa duduk satu meja untuk bernegosiasi. Kalau semua dilandasi niat baik untuk Flobamora dan Manggarai Barat pada khususnya, mengapa tidak bisa dipersatukan? Jika tidak bisa dipersatukan pasti ada serigala berbulu domba. Semoga ketakutan ini tidak terjadi di bumi Flobamora. Karena kita semua berjuang dengan hati tanpa mengingkari akal sehat kita masing -masing***.