Wednesday 6 February 2013

Kembali ke Rumah Panggung
By Herman Seran


Suatu ironi yang menggelitik terbersit dari berita TV Belu (9/2/08), yang menyatakan bahwa salah satu kebutuhan masyarakat Malaka Barat, yang sementara ini terkena bencana banjir Benenai adalah rumah panggung. Pernyataan ini memang ironis karena rumah panggung sendiri adalah rumah tradisional masyarakat Belu Selatan. Tetapi mengapa rumah panggung saat ini seolah berubah menjadi barang langkah bagi masyarakat yang telah mendapat jatah tahunan rutin banjir bandang Sungai Benenai ini?
Jawabannya adalah strategi pembangunan yang bersifat ‘copy-paste’ akan menghasilkan hasil yang tidak maksimal bahkan kemunduran. Dalam perspektif yang lebih positif, pembangunan yang menghargai kearifan lokal (local wisdom) akan menyokong prinsip keberlanjutan (sustainability). Sayangnya, pembangunan pemukiman di Malaka Barat telah menafikan kristalisasi proses adaptasi (tacit knowledge) Bani Wewiku – Wehali, yang menjadikan rumah panggung menjadi pilihan yang paling tepat, untuk meredam keganasan banjir bandang sungai Benenai. Karena di balik keganasan banjir Sungai Benenai ini, endapan lumpur yang dibawanya dari segenap penjuruh Pulau Timor menyuburkan lembah yang pernah menjadi pusat kerajaan Wewiku - Wehali yang pernah berpengaruh di jagat Nusantara.
Satu hal yang patut disyukuri bersama, adalah bahwa kebutuhan korban banjir akan kehadiran rumah panggung, menjadi antitesis bagi paradigma sempit, yang menganggap sesuatu yang datang dari luar selalu lebih baik. Pemahaman yang sama tidak terkecuali bagi konstruksi rumah – rumah masyarakat Belu Selatan yang diadopsi dari luar. Seruan masyarakat korban banjir merupakan representasi kesadaran akan keunggulan tradisi nenek moyang yang telah teruji sejak berabad – abad lamanya. Rumah panggung merupakan opsi yang paling ramah lingkungan (environmental friendly) bagi kehidupan di lembah sungai, termasuk Malaka Barat. Rumah panggung bukan saja tipikal rumah Belu Selatan, tetapi dapat ditemui pada sebagian besar kebudayaan yang berkembang di sepanjang daerah aliran sungai. Karena konstruksi rumah panggung, selain melindungi penghuni dan harta bendanya dari banjir, memungkinkan air mengalir secara leluasa, dan memberi ruang yang terbuka bagi peresapan dan penguapan.
Pernah ada selentingan untuk memindahkan masyarakat Malaka Barat yang rawan banjir seperti Lasaen, Fafoe dan Umatoos ke tempat lain yang bebas banjir. Tawaran semacam ini merupakan suatu pilihan yang tidak bertanggung jawab. Program migrasi ini mengajak masyarakat untuk berlari dari tantangan, bukan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Lebih parah lagi, tawaran ini tidak sensitif terhadap budaya lokal masyarakat Wewiku – Wehali (culturally insensitive). Mengapa demikian? Karena kampung Lasaen adalah pusat kerajaan (tafatik) Wewiku. Dengan memindahkan masyarakat Lasaen dan sekitarnya, sama dengan mengkhianati eksistensi kerajaan Wewiku secara umum. Dengan demikian ide transmigrasi adalah suatu pemikiran yang tidak mendidik bahkan cenderung destruktif.
Daripada menghabiskan energi memikirkan pilihan – pilihan yang tidak jelas kemaslahatannya, alangkah baiknya pemerintah mengalokasikan sumber daya untuk menyokong masyarakat Malaka Barat untuk kembali ke budaya atau tradisi rumah panggung. Dukunglah masyarakat menemukan kembali (reinventing the wheel) teknologi moyangnya yang telah terpinggirkan oleh arus modernisasi. Nenek moyang mereka telah mampu mengembangkan konstruksi rumah yang ramah lingkungan dan unggul mengatasi bencana, yang menyebabkan mereka mampu menikmati sisi positif dari banjir itu sendiri. Leluhur mereka sungguh sadar, bahwa hidup enak juga punya konsekuensi negatifnya (negative and positive impacts are inextricably linked to each other). Tugas manusia dengan teknologinya adalah untuk meminimalisasi nilai negatif dan mengoptimalkan nilai positifnya. Rumah panggung adalah bentuk teknologi yang mengurangi efek negatif banjir bandang.
Rumah panggung dengan kolongnya memungkinkan air dapat mengalir secara leluasa ke tempat yang lebih rendah. Konstruksi rumah - rumah permanen saat ini secara signifikan telah menaikkan muka air dan menghambat laju air. Air yang mengalir daerah yang mempunyai kelerengan yang relatif kecil sangat terpengaruh oleh hambatan sekecil apapun. Dengan sendirinya, tanpa mempertimbangkan faktor lain, banjir yang semakin kerap di Belu Selatan sedikit banyak adalah kontribusi dari konstruksi perumahan yang diadopsi masyarakat Malaka Barat saat ini. Secara sederhana dapat dilihat bahwa ada perbedaan muka air yang sangat menyolok dan lama tergenang pada bahu jalan yang berdekatan dengan sungai daripada sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa jalan dan rumah – rumah sekitarnya telah menjadi tanggul yang meningkatkan muka air dan menghambat laju aliran air yang seharusnya bebas mengalir.
Hal positif kedua yang menjadikan rumah panggung ramah lingkungan adalah bidang peresapan dan penguapan yang disebabkan oleh ruang terbuka (kolong) rumah panggung tersebut. Semakin banyak bidang peresapan dan penguapan semakin cepat pula air mengering. Rumah jenis lain tidak memberi ruang terbuka bagi peresapan dan penguapan. Akibatnya adalah potensi banjir besar akan lebih kerap terjadi karena walaupun jumlah air yang datang relatif sedikit, namun akan menjadi banyak karena sisa air yang tertahan, lama meresap dan lambat menguap. Jika faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus), konstruksi rumah yang semakin banyak menyisahkan ruang peresapan dan penguapan akan mengurangi potensi banjir.
Argumen – argumen di atas mengarah pada satu kesimpulan bahwa konstruksi rumah panggung memenuhi dua aspek disaster management concept yang selama ini dikampanyekan para ahli bencana. Dua aspek tersebut adalah aspek mitigatif and aspek preventif. Karena itu, saatnya semua pihak termasuk pemerintah mengkampanyekan program kembali ke rumah panggung di daerah – daerah rawan banjir. Tindakan nyata pemerintah adalah memberikan insentif kepada setiap warga yang menjadikan rumah panggung sebagai pilihan. Segenap komponen masyarakat harus mengambil bagian secara aktif mempromosikan ide kembali ke rumah panggung. Sebab, adalah kemunduran jika meninggalkan lembah yang subur ini hanya karena alasan banjir. Dengan teknologi yang lebih maju seharusnya masyarakat jaman ini lebih mampu mengatasi banjir daripada nenek moyang masyarakat Wewiku – Wehali yang hidup dengan teknologi primitif dan tradisional seadanya.
Kesimpulannya, nenek moyang masyarakat Wewiku -Wehali telah mampu membangun peradaban yang terkenal di seantero Nusantara di lembah ini. Dan salah satu pilar kesuksesan itu adalah konstruksi rumah panggung yang menghindari mereka dari efek negatif sungai Benenai. Karena di balik malapetaka ada berkah yang melimpah yang mampu menyokong keberlangsungan peradaban yang telah berabad lamanya tak lekang oleh banjir. Maka kini saatnya turunan mereka belajar dari kesuksesan leluhurnya untuk membangun suatu kehidupan baru yang ramah lingkungan. Kehidupan baru yang memberi tempat kepada teknologi rumah panggung warisan nenek moyang yang telah teruji keampuhannya. Prinsip ‘jas merah’, jangan melupakan sejarah, harus menjadi landasan membangun peradaban yang berkelanjutan.