Saturday 26 January 2013

AWASI PENGIJONAN PROJEK IBUKOTA MALAKA

By Herman Seran

Pembangunan ibukota suatu daerah otonomi baru (DOB) ternyata membutuhkan biaya yang sangat besar dan berlangsung beberapa tahun anggaran (multiyear). Itulah hasil observasi penulis mengikuti pembangunan suatu ibukota kabupaten baru di wilayah timur Indonesia. Anggaran dan projek yang masif tersebut sangat potensial menggerakkan ekonomi setempat alias efek ekonomi berganda (economic multiplier effect) dan manfaat lain jika dikelola secara massal. Namun demikian, dana dan projek besar tersebut sangat potensial untuk ‘diijonkan’ calon bupati kepada kontraktor (pengusaha) dan para pencari posisi (pegawai negeri dan politisi lain) di pemerintahan masa depan. Penyalahgunaan wewenang semacam ini sebaiknya tidak boleh terjadi pada DOB Malaka, yang telah diperjuangkan dengan keringat dan air mata semua pihak di Malaka dan luar Malaka.

Mengapa Projek Pembangunan Ibukota Malaka dapat diagunkan? Modus umum yang dilakukan untuk mengumpulkan dana kampanye, dan pada gilirannya mengumpulkan suara lewat kerja keras team sukses, termasuk para bakal calon bupati Malaka, adalah kolaborasi dengan penyandang dana (berminyak) dan pemilik massa (berkeringat). Projek ibukota bisa dibagi – bagi antara para bakal pejabat birokrasi sebagai insentif kepada mereka untuk mengkampanyekan sang calon bupati. Pada saat yang sama, dana dan projek yang besar bisa digadaikan kepada para pengusaha untuk mendapatkan dana kampanye bahkan untuk ‘money politics’. Projek sebesar itu sangat seksi untuk dikomodifikasikan bagi politisi untuk ditukarkan jabatan politik.

Namun sebaliknya, dana pembangunan yang bernilai ratusan miliar rupiah dan berkelanjutan secara multiyear, sangat potensial untuk menggerakkan roda pembangunan dan perubahan sosial di DOB yang masih sangat membutuhkan dana yang besar untuk pembangunan. Projek yang besar itu jika dikerjakan oleh masyarakat akan memberikan efek ekonomi berganda yang sangat besar, di samping memberi ketrampilan pertukangan dan manajemen projek. Tenaga kerja dan material lokal didatangkan dari setiap desa, dengan manajemen pada tingkat desa atau kampung, akan sangat berarti bagi desa – desa di Malaka. Sementara pengawasan dilakukan oleh pemerintah menggandeng kaum intelektual Malaka yang berada di luar Malaka maupun di Malaka. Strategi model ini akan sangat positif menggerakkan roda ekonomi lokal dan menjadi media transfer teknologi dan ilmu pengetahuan (technology and knowledge transfer) kepada masyarakat di Malaka.

Bagaimana ide ini bisa diimplementasikan di lapangan? Pertama – tama setiap desa akan didirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Berikutnya, BUMDes dari setiap desa akan bertanggung jawab dalam pembangunan salah satu bagian dari Projek (gedung, jalan atau bangunan fisik lainnya). Pemerintah daerah menyediakan desain dan tenaga ahli untuk mengawasi proses pembangunan sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku. Pemerintah secara sengaja membentuk dewan pengawas ahli yang merupakan kumpulan kaum intelektual Malaka yang tersebar di seantero jagat untuk bekontribusi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di desa masing – masing. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial kaum intelektual kepada kampung halaman. Dengan demikian semua pihak bersinergi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan ibukota Malaka dan keuntungan secara optimal dikembalikan kepada masyarakat untuk menggerakkan roda perekonomian desa, daripada dinikmati oleh segelintir orang.

Apa untungnya bagi Malaka dan masyarakat Malaka? Pertama, dana yang besar dikembalikan kepada masyarakat desa akan menjadi motor pembangunan desar yang signifikan. Desa bisa mempunyai dana yang cukup untuk meningkatkan taraf hidup (standar of living). Mereka bisa menggunakan dana untuk membangun desa lewat APBDes. Pada saat yang sama penghasilan yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja dan material lokal akan menjadi dana segar untuk memperbaiki kualitas hidup (quality of life) dan menyekolahkan anak – anak ke tingkat yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, masyarakat desa mendapatkan memontum pengalaman dalam pertukangan dan pengelolaan projek yang pada gilirannya mereka mampu untuk mereplikasinya dalam hidup harian mereka.

Kedua, keterlibatan masyarakat desa dalam pembangunan ibukota Malaka akan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap infrastruktur yang ada. Eksistensi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan diamplifikasi dengan melibatkan merekan secara aktif dalam pembangunan ibukota Malaka. Ini sekaligus merupakan satu bentuk restorasi kedaulatan rakyat Malaka atas daerahnya sendiri. Apalagi, jika setiap bangunan yang dibangun oleh masyarakat akan dinamai dengan nama desa – desa atau kampung – kampung yang ada di Malaka. Betapa tidak membanggakan ada Gedung As Manulea atau Jl. Loro Haitimuk atau Jembatan Litamali.

Ketiga, keterlibatan kaum intelektual Malaka dalam proses pembangunan Ibukota merupakan momentum partisipasi dan intensifikasi tanggung jawab sosial intelektual bagi kampung kelahiran Mereka, Kabupaten Malaka. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan bahwa projek tidak merugikan desa dan tidak mengurangi kualitas yang keteknikannya. Pemerintah Kabupaten Malaka bersama jajarannya memastikan bahwa kaum intelektual dari setiap desa atau kampung menjadi pendorong dan penasehat bagi desa masing – masing untuk menghasilkan projek yang berkualitas dan terjadi alih teknologi dan alih ilmu pengetahuan pada desa tersebut. Sementara, ini merupakan satu kebanggaan bagi kaum intelektual yang selama ini hampir tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan daerah dan sekarang mereka menjadi bagian dari penyelesaian masalah (problem solving) pembangunan.

Yang terakhir, keterlibatan berbagai pihak bukan untuk mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah, melainkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pembangunan yang harus menjadi visi tata kelola Kabupaten Malaka ke depan. Dengan terlibatnya banyak pihak dari perencanaan hingga pembangunan bahkan di tingkat desa, peluang untuk penyalahgunaan dapat diperkecil. Pemerintah menjadi lebih berwibawa karena mampu memobilisasi berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan tidak dicurigai sebagai koruptor.

Kesimpulannya, semua pihak harus mengawasi bersama penggunaan dana pembangunan ibukota malaka karena sangat rawan korupsi. Bahkan, sebaiknya projek itu diserahkan kepada masyarakat desa dengan pengawasan kaum intelektual dan pemerintah. Harapannya adalah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, satu peluru bisa menembak beberapa target. Ibukota berdiri, masyarakat desa makmur, kaum intelektual berpartisipasi, wibawa pemerintah terangkat lewat strategi yang partisipatif, akuntabel dan transparan. Salam Restorasi Malaka!

1 comment:

Unknown said...

Ide yang patut dikedepankan. Bagus Kakak...