Saturday 26 January 2013

REVITALISASI SEKTOR SOSIAL EKONOMI DI LEMBAH WEWIKU - WEHALI


By Herman Seran

Jared Diamond dalam bukunya Guns, Germs and Steel (2005) memaparkan bahwa peranan kondisi geografis sangat krusial dalam pola penyebaran peradaban bangsa manusia di seluruh dunia. Lebih lanjut Francis Fukuyama dengan bukunya The Origins of Political Order (2011), beragumentasi bahwa sejarah munculnya institusi politik atau pemerintahan sebagai buah dari peradaban manusia, sangat ditentukan oleh parameter – parameter topografi yang membatasi ruang gerak kelompok – kelompok manusia nomaden hingga memaksa mereka untuk membentuk konsensus untuk hidup bersama dalam ikatan yang tidak berdasarkan garis keturunan. Dalam terang pemikiran ahli geografi dan ahli politik tersebut, penulis hendak mendeskripsikan historis peranan Sungai Benenai bagi maju dan mundurnya peradaban kampung – kampung sepanjang bantaran sungai tersebut. Kedua, penulis beragumentasi tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh kehadiran S. Benenai yang kemudian disusul dengan kehadiran jembatan Benenai pada pertengahan tahun 1980-an. Terakhir, akan ditawarkan solusi untuk merevitalisasi sector sosial dan ekonomi di lembah Benenai yang subur tersebut.

Pengalaman penulis yang lahir dan besar di Wewiku – Wehali mempertegas pengamatan para ahli tentang bagaimana kondisi geografi dan pola transportasi mempengaruhi maju mundurnya peradaban di suatu wilayah. Keberadaan S. Benenai yang kemudian tersedianya jembatan Benenai di ujung Haitimuk pada awal tahun 1980an, sangat mempengaruhi kemajuan dan interkonektivitas kampung – kampung sepanjang muara S. Benenai. Observasi penulis dalam kurun waktu akhir 1970-an hingga tahun 2013 menggambarkan bahwa banyak hal positif yang telah dinikmati dari kehadiran Sungai Benenai dan Jembatan Benenai. Namun pada saat yang sama, ada dampak negatif yang muncul akibat keberadaan Sungai Benenai dan Jembatan Benenai. Misalnya, banjir yang membawa humus dari pegunungan menyuburkan lembah Wewiku – Wehali, tetapi banjir bandang sering menjadi ancaman bagi harta dan bahkan nyawa manusia. Kanalisasi alur transportasi ke bagian barat dengan hadirnya jembatan telah mengubah pola mobilitas masyarakat yang berdampak pada matinya beberapa pusat pertumbuhan sebelum tahun 1980-an.

Banyak penulis berpendapat bahwa Wewiku – Wehali mampu menjadi pusat kekuasaan yang terbesar di daratan Timor bahkan Sunda Kecil pada masa lampau, sangat dipengaruhi oleh keberadaan Sungai Benenai. Widiyatmika (tt), misalnya, berpendapat bahwa Motadikin telah menjadi pelabuhan perdagangan Cendana terbesar di daratan Timor jauh sebelum abad XV, bahkan S. Benenai di musim kemarau merupakan jalan untuk mengangkut Cendana ke muara. Demikian juga penulis lain seperti Therik dan Fox juga berpendapat sama bahwa lembah Benenai yang subur ini telah menjadi pusat kerajaan di Timor dengan bentuk kekuasan yang paradoksal (the power of the powerlessness) (bdk. Fox, 1996). Peranan luar biasa S. Benenai tersebut, secara metaforik tergambar dalam cerita “Na’an Oan dan Ai knotak”. Dikisahkan bahwa Sungai Benenai tercipta sebagai sarana komunikasi antara Sang Pangeran di Pegunungan Mutis dan Sang Puteri yang berada di Lembah Wewiku-Wehali. Bahwa banjir dari gunung mengirimkan kayu bakar (Ai knotak) untuk berdiang sang puteri yang baru melahirkan, sebagai balasannya sang puteri mengirimi beras dalam bentuk nener yang muncul pada bulan Mei – Juni setiap tahun sebagai Na’an Oan.

Ketika musim banjir, bukan saja kayu bakar yang dikirimnya, tetapi juga meninggalkan dampak ekonomi dan sosial yang tidak sedikit dan berkelanjutan. Harta benda dan ternak yang hanyut terbawa banjir, menurunkan semangat usaha dan kerja mereka yang tinggal di lembah nan subur ini. Banjir tidak hanya menghilangkan harta benda, tetapi lebih serius lagi karena menumbuhkan rasa pesimis para petani dan peternak karena banjir akan merusaknya lagi setelah mereka pulihkan. Akibatnya, wilayah yang pernah menjadi sentra pertanian di Belu dan bahkan pernah dirancang untuk menjadi kota agropolitan ini, secara perlahan kehilangan produktivitasnya.

Banjir dan kemudian jembatan yang dibangun pada pertengahan 1980-an yang mengubah pola pergerakan manusia, justeru menjadikan beberapa kampung Wewiku – Wehali sepanjang bantaran Benenai menjadi kota mati (ghost town). Kampung – kampung seperti Besikama dan Bolan sekarang menjadi yang ditinggalkan, walaupun pada awal tahun 1980-an menjadi pusat pertumbuhan. Misalnya, Rumah Sakit Marianum yang dikelola Komunitas SSpS di Besikama mengalami penurunan peranan hingga ditutup, sedikit banyak karena bergesernya jalur transportasi akibat terbangunannya jembatan dan bencana banjir. Kampung – kampung yang dipisahkan oleh S. Benenai yang dulu terhubungkan satu sama lain dengan jalan kaki dan berkuda menyeberang sungai, sekarang menjadi susah dijangkau karena masyarakat beralih ke moda transportasi kendaraan bermotor, yang susah menyeberang sungai. Motaulun dengan Angkaes yang berdekatan, Taelama dengan Lasaen, Sukabilulik dengan Manumuti menjadi sulit terkoneksi satu sama lain karena untuk berkunjung mereka harus melewati jembatan di Haitimuk, walaupun jarak antara kampung – kampung tersebut hanya selebar sungai Benenai. Di sinilah, peranan kondisi geografis menghambat interaksi antara pusat – pusat peradaban, yang diperburuk oleh rekayasa teknik, dalam hal ini jembatan.

Situasi ini jika dibiarkan secara berkelanjutan akan mematikan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat sepanjang bantaran S. Benenai di Wewiku Wehali. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekayasa teknik untuk mengembalikan performa pusat – pusat pemukiman tersebut. Hal ini menjadi lebih penting lagi, karena terbentuknya Kabupaten Malaka dan ibukotanya Betun, perlu disokong oleh pusat – pusat pertumbuhan di periferi kota. Karena itu, rekayasa yang perlu dilakukan adalah mengeliminasi dampak negatif banjir Benenai dan menghubungkan kembali pemukiman – pemukiman yang telah terputus satu sama lain dengan cara pelurusan S Benenai dan pembangunan Jalan Lingkar Selatan.

Langkah pertama adalah pelurusan S. Benenai yang akan dilakukan pada lokasi yang sering merupakan jalur banjir yang terbesar dan jarak terdekat ke muaranya. Dari pengukuran kasar pada citra satelit, jarak pelurusan tersebut kurang lebih delapan kilometer. Jarak ini merupakan jarak antara tikungan yang paling tajam tempat berawalnya pola aliran berkelok-kelok (meandering) pada dataran banjir hingga muara sungai di Laut Selatan saat ini. Secara umum arah normalisasi kanal dimulai dari pelurusan badan sungai start dari depan gereja Kleseleon mengarah ke tenggara, kemudian membelah di antara Gereja Protestan Maktihan dan Kantor Camat Malaka Barat, menuju ke muaranya di Laut Selatan. Mempertimbangkan potensi biaya, dampak negatif, dan dampak positif yang ditimbulkan dari projek pelurusan ini, maka jarak delapan kilometer, secara empiris sangat layak untuk dikerjakan. Karena dengan pelurusan maka daerah potensi atau limbasan banjir menjadi lebih kecil, badan sungai relatif lebih sempit sehingga bisa dilakukan pengelolaan daerah aliran sungai (manajemen DAS), dan tentu saja dapat dibuatkan jembatan untuk menghubungkan daerah – daerah di sebelah timur, baik di utara maupun selatan S Benenai. Langkah berikutnya adalah pembuatan jalan lingkaran selatan mulai dari Weoe – Webriamata – Wemean – Besikama – Sukabilulik – Bolan – Betun. Jalan ini akan dilengkapi dengan jembatan yang relatif pendek karena hanya menyeberang kanal hasil rekayasa yang sempit.

Hal utama yang perlu dilakukan adalah kajian kelayakan teknis dan analisis sosial ekonomi yang komprehensif untuk mengkuantifikasi untung rugi projek tersebut (cost-benefit analysis) oleh team yang kompeten dan terlebih independen. Langkah berikutnya adalah sosialisasi projek secara transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat terutama mereka yang bakal tergusur. Mereka yang terkena dampak harus diberi kompensasi yang lebih dari layak, setelah dengan sadar memahami pentingnya projek ini bagi kepentingan bersama. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah definisi ulang peran mistis S. Benenai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban dan budaya Wewiku Wehali. Dengan demikian, antara pembangunan dan kebudayaan tidak saling mengorbankan.

Untuk mengakhiri pemaparan ini, penulis berpendapat bahwa kondisi geografis sangat menentukan pola perkembangan pembangunan dan kebudayaan. Peranan manusia yang diberi akal budi oleh Tuhan adalah untuk memodifikasi hambatan – hambatan alam untuk memastikan keberlanjutan peradaban manusia tanpa mengabaikan daya dukung lingkungan dan sustainabilitas. Intervensi manusia dan kondisi geografis dapat memberikan dampak negatif, tetapi pada saat yang sama juga berkontribusi positif. Tugas rekayasa keteknikan adalah melakukan intervensi pada kondisi alam yang bertujuan meminimalisir dampak negatif dan mengamplifikasi dampak positif bagi alam dan manusia. Projek pelurusan S. Benenai dan Jalan Lingkar Selatan pasti ada kerugiannya, tetapi merupakan mitigasi bencana banjir dan juga merevitalisasi perekonomian dataran Wewiku – Wehali secara keseluruhan. Karena itu dibutuhkan kearifan semua pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada perencanaan yang matang dan komprehensif.

1 comment:

obor kefamenanu said...

Terima kasih ya Tulisannya menarik, tapi tolong dimuatkan juga referensinya......SALAM