Saturday 22 November 2008

INDONESIA DI MATA SEORANG MINORITAS

Makalah Diskusi menyambut 17 Agustus 2006 di Perth
Herman Seran

Introduksi
Ketika panitia seminar menggategorikan NTT sebagai wilayah yang terpinggirkan secara identitas, dan saya diminta bersaksi tentang bentuk marginalisasi tersebut saya sempat bingung: bagaimana pendapat saya. Karena menurut pengamatan orang Indonesia yang lain, orang NTT telah tergeser ke tepian kehidupan bernegara Indonesia, setelah 61 tahun bersama mengikrarkan satu kebersamaan dalam payung negara kesatuan Republik Indonesia.
Apa benar bahwa orang dan wilayah NTT terpinggirkan secara identitas? Apa alasan untuk mengklaim bahwa NTT sungguh terpinggirkan akibat dinamika sosial, ekonomi dan politik negara yang mengakui hakekatnya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia tanpa berbagai embel – embel sejenis minoritas atau mayoritas? Secara umum saya akui bahwa pernyataan tersebut ada benarnya. Tapi jangan – jangan ini cuman perasaan saya saja? Karena nyatanya, hari ini AIPPSA masih memberikan kesempatan kepada kelompok yang terpinggirkan itu untuk bicara. Atau, di tingkat nasional, hasil muktamar NU yang baru lalu membuktikan bahwa pluralitas dan kebhinekaan Indonesia masih disadari oleh organisasi muslim terbesar di Indonesia itu.
Untuk pembahasan isu peminggiran identitas tersebut, saya akan mengkalibrasi opini saya dengan pernyataan beberapa teman yang berasal dari NTT maupun yang lama tinggal di NTT. Kemudian kita melihat bukti – bukti yang mendukung dalam konteks pengalaman saya sebagai orang NTT. Selanjutnya saya mendiskusikan akibat marginalisasi tersebut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas, saya akan susulkan dengan apa ide saya untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia di masa depan.

Kalibrasi Opini
Saya coba bertanya kepada beberapa teman saya lewat email untuk menyelaraskan opini saya yang sering kali ekstrem. Katakanlah pooling opini cendikiawan muda yang berasal dari dan atau bekerja di NTT. Sebagian besar mereka mengakui bahwa pendapat saya tidak terlalu menyimpang dari apa yang mereka pikirkan. Berikut petikan dari beberapa pernyataan mereka:

“...satu hal yang saya sesali adalah betapa piciknya anak-anak bangsa sekarang yang menggunakan dan memanfaatkan perbedaan yang ada sebagai alat untuk memaksakan kepentingan sebagian golongan. disini anak-anak bangsa non jawa menjadi kelompok minoritas dan terpinggir karena dianggap tidak penting, tidak berbudaya, tidak pintar dan kurang berpendidikan. kira-kira segini aja komentar saya soalnya sakit hati kalau diterusin...” (AL)

“…pendapatan per kapita penduduk NTT ternyata kedua paling kecil: Rp3.113.300,00, sangat kecil dibanding pendapatan per kapita nasional Rp10.461.700,00. Ini hanya sedikit lebih tinggi dari Maluku Utara, Rp2.713.700,00. Padahal ketong tahu mereka baru saja lepas dari konflik panjang!...” (PP)

“…Gambaran situasi pendidikan di Desa Oeniko, Kabupaten Kupang (kurang lebih 55 km dari Kupang): Angka buta huruf di desa ini mencapai 95%. Satu-satunya sekolah yang ada adalah SD darurat yang hanya memiliki 3 kelas yang dibangun dengan swadaya masyarakat (!) dengan bahan seadanya: berdinding bebak gewang dan bambu, dan beratap daun alang-alang. Jumlah guru hanya 2 orang sehingga ada 2 kelas yang hanya diasuh oleh satu tenaga pengajar. Status dari 2 guru tersebut yaitu 1 guru kontrak dan 1 guru bantu, yang gajinya dibayar oleh swadaya masyarakat juga (Rp 450.000/bulan), dan melalui pungutan komite sekolah (Rp 150.000/bulan) (total Rp 600.000/bulan, yang berarti gaji guru Rp 300.000/guru/bulan) .
…. Untuk melanjutkan ke SMP atau SMA, orang harus ke ibukota Kecamatan, yaitu Oesao, yang berjarak 20 km dari desa, dengan jalan yang hanya berupa pengerasan. Sebagai tambahan, selama terbentuknya desa Oeniko, pembangunan sarana dan pra sarana hanya pengkerasan jalan desa sepanjang 1 kilometer sedangkan kantor desa dibangun secara swadaya masyarakat dengan gotong royong....” (RF)

“… saya merasa NTT belum merdeka.Teman-teman bahkan menambahkan, kalau tdk ada konflikTimtim, Kupang-Atambua tdk mungkin ditempuh dalam kurang dr 12 jam alias jalan dan jembatan tdk dibangun...” (DH).


Pengalaman dan observasi pribadi:
Bukti Marginalisasi
NTT memang terpinggirkan secara identitas dalam beberapa aspek:
Aspek geografis: banyak orang Indonesia terlebih yang di Jawa tidak tahu dimana NTT itu berada. Ketika pertama kali saya sekolah di Yogyakarta, saat berkenalan dengan beberapa teman dari jawa. Saya katakan bahwa saya dari NTT. Teman itu menjawab... “Oh Lombok?” “Bukan! Timor!” “Oh Timor Timur?” “Bukan! Timor Barat!” “Dimana Timor Barat?” Pengalaman seperti ini terjadi acap kali terhadap saya selama saya tinggal dan hidup di Yogya dari 1992 hingga 2002.

Aspek Politik dan Pemerintahan: pemerintah Republik Indonesia tidak sadar bahwa NTT itu adalah propinsi kepulauan. Buktinya, sampai hari ini Pemprov NTT masih memperjuangkan status NTT sebagai provinsi kepulauan. Adalah ironis bahwa gelar “Nusa” tidak serta merta berarti kepulauan bagi provinsi yang mempunyai lebih dari 550 pulau tersebut. Karena saking banyaknya pulau, Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang secara anthropologis milik orang NTT tidak tergambar dalam peta Belanda tapi muncul di peta Inggris (pers com with Aloysius Maja), sehingga menjadi milik Australia walaupun orang NTT masih berjuang sampai sekarang untuk mengklaim fakta antropologis tersebut.

Aspek Sosial: 91% penduduk NTT adalah Kristen, sehingga pemberlakuan peraturan yang menyiratkan diskriminasi bagi orang non-muslim adalah bentuk marginalisasi bagi orang NTT. Bukti yang paling jelas adalah ancaman dari sekelompok orang NTT untuk keluar dari Indonesia jika RUU APP disahkan menjadi UU. Selain itu vonis hukuman mati bagi Tibo Cs terkait kasus Poso, bagi orang NTT adalah bentuk pengkhianatan yang paling menyakitkan. Mengapa? Di samping karena tiga orang tersebut adalah transmigran asal NTT, bagi orang NTT, vonis itu tidak lebih daripada bentuk penumbalan orang kecil dan ketidakadilan bagi orang kristiani.

Aspek Pendidikan dan Pengembangan SDM: Standar pendidikan Indonesia bagian timur dan barat sangat jauh berbeda. Semua universitas besar ada di Jawa dan Sumatera sementara yang di timur hampir tidak kedengaran. Paling yang kedengaran UNHAS dan UNSRAT, selebihnya tidak ada yang tahu. Ilustrasi tentang universitas di atas menggambarkan kualitas pendidikan secara umum di Indonesia bagian timur yang berada di bawah standar nasional. Sebagai contoh, seorang teman saya dari Flores yang kuliah di AKABRI Magelang tahun 1990-an bercerita kepada saya, bahwa sebelum mengikuti kuliah normal dia ikut kelas matrikulasi. Jika lampu kelas matrikulasi dipadamkan, maka tidak ada yang terlihat kecuali kalau tertawa, karena semuanya berasal dari NTT, Maluku dan Papua. Tapi pada semester pertama kuliah dia menduduki ranking tiga. Pengalaman yang sama terjadi bagi banyak orang NTT yang kuliah di Jawa.

Aspek Pendidikan Sejarah: Pendidikan sejarah Indonesia terlalu menitik beratkan kepada sejarah perjuangan tokoh – tokoh Indonesia bagian barat. Hal demikian menyebabkan pelajaran sejara tidak membangkitkan rasa patriotisme saya sebagai warga negara, justru membuat saya merasa didoktrin dan terpinggirkan. Mengapa? Karena pengajaran demikian tidak membangkitkan sense fo belonging saya terhadap negara RI. Pelajaran sejarah demikian menciptakan kesan alienasi dan tidak menumbuhkan solidaritas kebangsaan. Kenyataannya, tempat lain termasuk NTT pun mempunyai para pejuang yang seharusnya perlu diangkat untuk menunjukkan bahwa Republik ini adalah hasil perjuangan kita semua. Tapi karena tidak diajarkan di sekolah, apa yang diceritakan nenek saya tentang keperwiraan pahlawan lokal daerah saya itu terasa seperti cerita legenda nenek moyang yang menciptakan image kejayaan masa lalu.

Aspek Praktek Kehidupan Harian: Seorang teman saya dari Ende pernah mengatakan bahwa Indonesia itu batasnya sampai di Bali. Kenapa? Karena para pejabat dari pusat kalo ke timur sampai di Bali balik. Dan para pejabat dari timur sering ke Bali untuk melapor. Bukti yang paling nyata adalah ketika ada lowongan kerja dari BUMN atau instansi vertical negara maka tempat testnya untuk NTT maksimum sampai di Bali. Contohnya adalah pengumuman tempat test penerimaan karyawan BI beberapa waktu lalu wilayah Nusa Tenggara dipusatkan di Bali. Dengan sendirinya sebagian besar kandidat NTT sudah tersisih karena keterbatasan akses baik dari segi jarak maupun dana.

Akibat Marginalisasi
Proses panjang marginalisasi tersebut mengkristal dalam bentuk competitive disadvantage yang membuat orang NTT, dan Indonesia bagian timur pada umumnya, berbenturan dengan ‘high barrier to participate’ dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Pada gilirannya, NTT semakin terpinggirkan dan bisa mengarah kepada eskalasi problem – problem sosial politik yang tidak kondusif. Orang hanya tersentak kalo ternyata di Sikka ada bencana kelaparan, sehingga DepSos harus turunkan timnya ke sana. Sayangnya mereka hanya dari atas mobil dan melihat anak – anak melambaikan tangan. Dan mereka simpulkan tidak ada kelaparan, karena anak – anak itu masih bisa bermain dan melambaikan tangan dengan ceriah. Satu pernyataan yang tidak ada bedanya dengan statemen Menko Kesra melihat babi di Yakuhimo gemuk – gemuk, dan menyatakan bahwa tidak ada kelaparan di sana, walaupun terbukti ada yang mati kelaparan.

Seperti apakah barrier to entry yang dimaksud?
Identitas agama dan suku. Ketika saya di SMA guru saya pernah mengatakan kepada kami bahwa paling tidak ada dua syarat untuk menjadi calon presiden Indonesia. Dua kriteria utama tersebut adalah muslim dan Jawa. Sejauh mana pernyataan itu benar? Saya sebagai orang NTT harus realistik bahwa memang Indonesia itu penduduknya mayoritas muslim dan Jawa, jadi probabilitas orang yang tidak memenuhi criteria di atas pasti kecil kemungkinan untuk terpilih. Artinya secara identitas, orang NTT punya hambatan untuk bersaing secara seimbang. Contoh yang lebih membumi: saya pernah ditest untuk menjadi asisten laboratorium sewaktu kuliah. Secara kualitas saya tidak meragukan kemampuan saya, karena di samping IPK saya, hampir setiap tahun dipercayakan jurusan untuk menjadi pembimbing pengenalan lapangan geologi untuk mahasiswa baru, dan beberapa asisten senior sudah mendekati saya. Ketika memasuki tahapan test terakhir dosen penguji bertanya: “Apa Agamamu?” Saya jawab “Katholik.” Ternyata dia tidak bertanya tentang ilmu saya tapi agama saya. Hasilnya, saya tidak lulus test asisten lab. Syukurnya, Freeport mengetes saya dan dinyatakan sebagai satu dari 4 mahasiswa geologi Indonesia yang berkesempatan ikut program ‘link and match’ yang diterapkan mentri P & K Wardiman.

Kualitas SDM. Seperti dijelaskan di atas, kualitas pendidikan orang NTT pada umumnya berada di bawah level nasional. Hal ini bukan dikarenakan potensi yang rendah, tetapi lebih dikarenakan standar mutu pendidikan yang relatif rendah dibandingkan mereka yang di Indonesia bagian barat. Untuk yang satu ini, saya merupakan pendukung JK dalam hal perlunya ujian nasional bagi mereka dari Indonesia Timur, hanya harus disertai dengan pembenahan sistem dan fasilitas pendidikan Indonesia timur. Pernyataan yang dikutip dari kesaksian teman saya tentang sekolah di pinggiran Kupang di atas, menggambarkan wajah pendidikan NTT. Tapi harus diakui bahwa banyak orang NTT yang mampu melompati barrier tersebut dan berkiprah di tingkat nasional. Misalnya rektor pertama Gadja Mada adalah orang NTT dan Konsul RI di Perth adalah juga orang NTT. Atau, tahun ini ada seorang anak SD dari Flores yang menjadi juara olimpiade matematika di Singapura.

Infrastruktur dan fasilitas. Sarana prasarana NTT yang minim membuat sebagian besar orang NTT kalah dalam bersaing di tingkat nasional. Akibatnya adalah mereka lebih menjadi beban bagi negara Indonesia karena tidak produktif. Persoalan sejenis terjadi pada pengembangan potensi alam lokal seperti pertanian dan peternakan. Misalnya, di Timor pernah dikembangkan budidaya apel tropis yang kualitasnya menurut beberapa pakar lebih bagus dari apel Malang. Tapi karena akses pasar yang buntu, apel membusuk, dan petani harus menkonversi lahannya menjadi lahan jagung daripada makan apel sebagai makanan pokok.
Kemampuan ekonomi. Kemampuan perekonomian yang relative sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain membuat NTT semakin tersinggirkan karena partisipasi dan aktualisasi diri perlu modal. Bagaimana mungkin mengharapkan orang NTT untuk test di Bali sementara untuk makan saja sulit? Contoh untuk ini adalah seorang teman saya dari Flores. Dia batal untuk menerima beasiswa ADS (targeted) karena tidak punya uang untuk berangkat test ke Jakarta. Tanpa mempertimbangkan usaha dia untuk mencari dana, kenyataan ini menggambarkan betapa sulitnya mobilitas kalau miskin. Apa lagi hanya untuk test masuk BI di Bali yang belum tentu lulus.

Konsekuensi Lanjutan dari Marginalisasi:

Jangka pendek:
- NTT tetap akan menjadi beban bagi kehidupan berbangsa dan bernegara secara khusus aspek perekonomian. Teori ekonomi mengataka bahwa salah satu elemen pertumbuhan ekonomi adalah produktifitas. Marginalisasi berakibat pada tidak optimalnya eksploitasi factor – factor produksi. Sementara itu, pemerintah pusat terus menerus mengucurkan dana bantuan. Akibatnya, adalah semakin lebarnya jurang kesenjangan antara timur dan barat.
- Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak efektif akibat pemahaman yang tidak utuh tentang NTT. Nusa Tenggara Timur adalah propinsi kepulau dengan ratusan pulau dan puluhan suku bangsa. Adalah tidak efektif jika menerapkan strategi yang digunakan di propinsi lain yang lebih homogen dan relatif berada pada satu daratan. Strategy yang tepat bisa diadopsi hanya jika ada kesadaran dan pengakuan akan pluralisme negara kita.
- Eskalasi sentimen SARA. Ketika orang merasa tidak diakui identitasnya, mereka akan berusaha menunjukkan eksistensi mereka (pers com with Mas Gaffar and Bang Mangadar). Dengan demikian marginalisasi akan mempertajam konflik SARA. Sebagai contoh, sampai hari ini hampir setiap hari ada demonstrasi di NTT menentang hukuman mati Tibo Cs akibat bentuk peradilan yang tidak adil dan sarat kepentingan. Jika hal demikian terus menerus terjadi akibatnya adalah akumulasi frustrasi dan dendam yang mengarah kepada eskalasi anarki. Bahkan dalam hubungan dengan kasus Tibo Cs, Kabupaten Sikka telah ditingkatkan level keamanannya ke Siaga I.

Jangka Panjang: Desintegrasi Bangsa. Jika pemerintah tidak tulus mengatasi persoalan – persoalan marginalisasi hakekat kebhinekaan bangsa, maka akibat jangka panjangnya adalah pecahnya Republik Indonesia menjadi negara – negara kecil. Rasa pesimistik ini juga dirasakan salah seorang warga NTT yang menulis di Pos Kupang (17/8/2006). Dia mengibaratkan Indonesia sebagai orang tua umur 61 tahun yang sudah pikun, tidak tegas dan tegar, dan impoten (Charles Beraf, 2006). Menurut Beraf, Indonesia pikun karena begitu muda melupakan hal – hal besar yang menyangkut integritas bangsa. Misalnya, Indonesia lupa bahwa republik ini terbentuk atas dasar pluralisme, dimana frase ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ dihapus dari Pancasila sebagai akomodasi suara tokoh – tokoh Indonesia bagian timur oleh tokoh – tokoh Islam nasionalis. Bangsa ini juga tidak tegas menyelesaikan persoalan – persoalan di republik ini, sehingga republik ini lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan – kepentingan kelompok tertentu. Dan bangsa ini juga sudah impoten karena tidak mampu memproduksi pemimpin – pemimpin besar yang mampu mengayomi segenap bangsa Indonesia tapi membiarkan bangsa ini dibawa kepada desintegrasi.

Mempertahankan Integrasi Bangsa
Bagaimana mempertahankan Integrasi Republik Indonesia? Saya mengawali pembahasan saya dengan mengutip pernyataan seorang dosen Universitas Katholik Widya Mandira Kupang di Pos Kupang (18/8/2006) tentang pengalaman ke-Indonesia-annya:

“…Rakyat kecil itu tidak sedang berperkara dengan Indonesia. Tapi sesungguhnya mereka sedang berperkara dengan ketidakadilan atas nama Indonesia. Dengan keterbelakangan atas nama negara. Dengan ketertindasan atas nama Tanah Air. Dengan berbagai penderitaan yang dilakukan atas nama Republik Indonesia. Mereka berada di Indonesia, tetapi terisih dan kalah di negerinya sendiri yang bernama Indonesia. Mereka selalu menjadi korban dari kebijakan-kebijakan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di situlah rakyat sering diperangkap oleh keindonesiaan yang semu dan penuh siasat bulus. Keindonesiaan yang membuat rakyat susah dan sering menjadi korban, sementara para elite ongkang-ongkang dalam kesenangan. Jika belakangan ini muncul wacana krisis nasionalisme, jangan-jangan esensi dan muaranya ialah krisis perilaku elite yang sering mengatasnamakan Indonesia...” (Emiliana Martuti Lawalu, 2006).

Jadi mempertahankan Indonesia lebih pada penghentian penyalahgunaan Indonesia untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Mari kita menyadari bahwa integritas bangsa sedang kita pertaruhkan demi kepentingan sempit. Dalam hal ini strong political will pemerintah untuk kembali ke misi utama negara: menghantarkan segenap bangsa Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan yang sesungguhnya. Gerbang yang di dalamnya setiap orang merasa sungguh Indonesia karena mempunyai tempat yang sejajar dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara praktis saya menganjurkan:
- Pemerintah harus benar – benar menerapkan strategi pembangunan yang mengakomodasi potensi dan karakter lokal setiap daerah. Hal demikian hanya bisa terjadi jika negara sungguh mengenal dan mengakui eksistensi daerah dan masyarakatnya di seluruh nusantara. Pemerintah harus secara sengaja menerapkan program yang revolusioner untuk mempercepat ketertinggalan Indonesia bagian timur. Misalnya, Kalimantan dan Irian sebagai daerah yang kaya tambang dan hasil hutan harus didukung dengan sistem pengembangan sumber daya manusia yang menjawabi tantangan tersebut. Sementara Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara yang merupakan daerah kepulauan harus disokong dengan sistem transportasi laut dan infrastruktur yang memadai. Sehubungan dengan itu, saya setuju dengan negara federal sebagai bentuk pemerintahan yang lebih tepat untuk indonesia mengingat kebhinekaan dan pluralitas Republik Indonesia.
- Berikan perhatian khusus kepada pengembangan sumber daya manusia di Indonesia bagian timur. Untuk berkompetisi secara adil dibutuhkan starting point yang sama. Selama kualitas SDM barat dan timur tidak seimbang maka perasaan bahwa Indonesia bagian barat atau jawa menjajah luar jawa tetap akan menjadi isu yang mengancam desintegrasi bangsa. Karena itu langkah utama pemerintah adalah program – program strategis berkaitan langsung dengan peningkat kualitas institusi pendidikan. Untuk itu pemerintah dianjurkan menyokong dan mensubsidi institusi – institusi pendidikan yang berkualitas di daerah – daerah tersebut sehingga makin banyak anak didik yang tertampung di sana. Sebagai contoh, sebagian besar sekolah yang berkualitas di NTT adalah sekolah misi. Tapi biayanya mahal karena mereka tidak lagi didukung oleh dana dari luar. Bantuan pemerintah untuk lembaga pendidikan sejenis itu akan sangat membantu perluasan kesempatan belajar bagi masyarakat di wilayah Indonesia bagian timur.
- Hilangkan label agama dalam kehidupan bernegara, karena sering kali agama justeru menjadi hambatan persatuan dan kesatuan bangsa daripada pendapat yang selama ini digemborkan ‘bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan’. Fanatisme sempit para pemeluk agama sering kali diperparah oleh pelabelan tersebut. Saya berpendapat bahwa orang harus dinilai atas dasar kualitas daripada agama yang dianutnya. Karena itu, mencantumkan agama seseorang dalam kartu identitas lebih banyak buntung ketimbang untung. Demikian juga perarturan pemerintah yang mengedepankan ajaran agama tertentu adalah musuh bagi kelanggengan persatuan Indonesia.
- Kembangkan komunikasi dan dialog intensif antara segenap elemen masyarakat di Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan keragaman bangsa. Syaratnya adalah kesadaran kritis bahwa keragaman mengandung potensi disintegrasi bangsa. Karena itu, proses peningkatan nasionalisme harus dikembangkan secara terus menerus melalui dialog bukan dengan senjata. Pemaksaan pendapat lewat represi militeristik sesungguhnya tidak kondusif dan sustainabel bagi integrasi bangsa. Apalagi dengan kadar profesionalisme tentara dan polisi yang setali tiga uang dengan preman pasar.
Mengingat pentingnya dialog dan komunikasi demi pemupukan rasa saling mengenal antara kelompok masyarakat di Indonesia, saya akhir sharing ini dengan sebuah cerita. Orang NTT sebenarnya juga terkenal dalam beberapa hal. Diantaranya adalah suka berkelahi dan menjadi preman. Tidak mengherankan ketika saya bicara tentang keberhasilan orang – orang NTT, seorang teman menyatakan: “Bukannya orang NTT itu lebih banyak kerja sebagai satpam?” Karena perilaku sebagian orang NTT yang sering mabuk dan terlibat kriminal banyak pemilik kos di Yogya enggan menerima orang NTT bersama dengan orang Batak dan Palembang sebagai anak kostnya. Salah seorang teman dari NTT yang kemudian menjadi preman di Yogya pernah bercerita begini:
Ketika sebelum berangkat kuliah di Jawa, dia sudah diceritakan bahwa Jawa itu banyak pencopetnya, jadi harus berhati-hati. Saat turun di Janti, dia menyewah becak ke Mrican. Di becak dia duduk menghadap tukang becak.
Tukang becak bilang: “Mas, duduknya menghadap ke depan!”
Jawabnya: “Biar saja begini!”
“Mas, tolong menghadap ke depan!” kata tukang becak lagi.
“Tidak, saya duduk begini saja!” kata teman itu.
“Kalau Mas tidak menghadap ke ke depan saya gak bisa jalan!” kata tukang becak bingung.
“Hei, lu pikir saya sonde tahu lu pung maksud? Lu suruh saya menghadap ke depan supaya lu copet saya pung dompet kan?” Bentak teman itu sambil memegang erat – erat dompetnya.

Jangan salah! Calon preman takut juga dicopet!.

No comments: