Saturday 22 November 2008

MENGGUGAT HEGEMONI PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Di penghujung tahun 2006 kisah – kisah ironis, yang berkaitan dengan partai politik menghiasi headline berbagai media massa baik nasional maupun lokal. Para aktor parpol itu sungguh menjadi selebriti yang tak habis diberitakan. Betapa tidak, publikasi tentang anggota dewan yang sedang tidur di ruang sidang sudah begeser ke tayangan hidup anggota dewan yang tidur dengan artis di kamar hotel. Waktu hampir bersamaan hasil survey Transparancy International mengungkapkan bahwa lembaga legislatif (4.2 dari skala 5), partai politik (4.1), dan lembaga peradilan (4.2) Indonesia menjadi sarang para koruptor kelas wahid (www.transparancy.org). Sementara itu, quick count Lingkaran Survey Indonesia menunjukkan bahwa cagub – cawagub independen di Aceh secara telak mempecundangi calon – calon yang diusung partai politik. Berita – berita ini menjadi tambah menggelikan karena pemerintah pun meluncurkan PP 37 tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD yang melandasi penggelembungan pendapatan anggota dewan menjadi berlipat – lipat.
Isu apa yang diusung kejadian – kejadian di atas? Pesan apa yang hendak disampaikan tersebut? Inti semuanya itu adalah bahwa PP 37 tahun 2006 tidak lebih daripada konspirasi kepentingan partai politik yang bersembunyi di balik tameng wakil rakyat (legislative) dan pelaksana amanat rakyat (executive). Karena ternyata prinsip demokrasi telah terkebiri menjadi ’dari rakyat oleh partai dan untuk partai’. Rakyat semakin mual melihat semuanya dagelan picisan tersebut. Masyarakat perlu institusi tandingan yang menantang hegemoni parpol yang semakin semena – mena.
Setiap orang yang melaksanakan kewajibannya berhak untuk menuntut haknya. Demikian juga anggota dewan kita berhak mendapatkan peningkatan pendapatan kalau mereka sukses mengemban tugas kewajiban mereka. Tetapi, secara institusi, apakah anggota dewan sukses melaksanakan kewajibannya sehingga harus dilumuri dengan gaji beberapa kali lipat? Apakah pantas mereka digaji ratusan juta pertahun sementara pada tahun yang sama jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 109 juta orang? Adalah tidak pantas mengganjar pekerja yang underperformance dengan tunjangan ratusan persen. Sebaliknya, yang patut dilakukan adalah pemecatan, karena mereka gagal mengemban tugas mereka. Sayangnya rakyat tidak punya hak untuk memecat mereka. Karena itu dibutuhkan legalitas untuk memecat mereka.
Persepsi masyarakat yang digambarkan oleh survey Global Corruption Barrometer menempatkan korupsi parpol dan legislatif Indonesia jauh di atas rata – rata sejawatnya di Asia Tenggara, mencerminkan betapa masyarakat begitu sinis terhadap elit – elit partai politik. Persepsi kebobrokan aparat partai ini diperkuat dengan publikasi Bank Dunia, yang menyatakan selama tahun 2006 jumlah penduduk miskin Indonesia naik dari 16 menjadi 17.5 persen. Angka tersebut senada dengan pengakuan gubernur NTT tentang adanya peningkatan kemiskinan di NTT (Pos Kupang 20/12/2006). Ini adalah bukti kegagalan aparat partai yang duduk di legislatif maupun eksekutif, yang memicu mosi tidak percaya masyarakat. Kemenangan telak calon independen dalam pemilihan gubernur di Provinsi Aceh versi quick count adalah eskalasi nyata dari mosi tidak percaya terhadap partai politik di republik ini.
Tanpa aturan saja mark up gaji anggota dewan menjadi berita lumrah dari surat kabar di NTT. Apa lagi jika ada landasan hukumnya. Etika dan moralitas bukanlah semangat legislatif dan eksekutif kita. Betapa tidak, rancangan peraturan daerahnya masih dibahas, pemprov NTT telah membayar lebih dari 6.5 milliar rupiah kepada DPRD NTT (Pos Kupang 20/12/2006). Tetapi, betapa sulitnya mengucurkan dana untuk mnyelamatkan mereka yang mati kelaparan dan gedung sekolah yang ambruk. Sehingga adalah dagelan yang tidak lucu kalau gaji DPRD Manggarai, lantaran PP 37/2006, mendekati 90 persen PAD kabupaten tersebut, sementara wakil ketua DPRDnya mengklaim bahwa semua kebijakan yang diambil semata untuk kepentingan rakyat (Pos Kupang 19-20/12/2006).
Dengan demikian, pembatalan PP 37/2006 sudah selayaknya dilakukan oleh pihak yang berwenang. Karena peraturan pemerintah tersebut mengkhianati asas kepatutan, bahkan memperluas ruang kesewenang-wenangan eksekutif dan legislatif. Bahwa ada pasal peraturan tersebut yang mengisyaratkan pertimbangan kondisi keuangan daerah dalam penetapan tunjangan dewan tidak dapat diandalkan, karena tidak lebih dari pasal karet yang sulit diukur akuntabilitasnya. Seharusnya, kenaikan gaji anggota dewan dan legislatif diperhitungkan berdasarkan kualitas kerja yang mereka tunjukkan. Tolok ukur yang bisa dipakai untuk mengukur performance mereka adalah kemajuan sosial ekonomi yang dicapai setiap tahun, entah itu dalam bentuk peningkatan pendapatan per kapita penduduk atau parameter lain yang lebih akuntabel. Dengan demikian legislatif dan eksekutif mempunyai insentif untuk berjuang meningkatkan taraf hidup rakyat. Lagi pula, pengeluaran pemerintah yang sifatnya konsumtif seperti gaji tidak berakibat positif bagi perekonomian rakyat. Karena itu lebih pantas dana miliaran rupiah dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur dan peningkatan kualitas hidup rakyat.
Terus apa yang perlu dilakukan untuk menggerogoti hegemoni partai politik? Langkah penting yang perlu dilakukan adalah memperjuangkan perubahan UU Pemilu sehingga Pemilu tahun 2009 membuka peluang untuk calon – calon independen di legislatif maupun eksekutif. Hal ini perlu, karena fakta – fakta di atas membuktikan bahwa partai politik yang sekarang tidak bisa dipercaya untuk mengemban suara rakyat. Bahkan jika ada calon pemimpin yang bersih yang diusung partai politik hampir pasti akan terkontaminasi karena sistem yang korup dan tidak efisien. Tentu akan ada sanggahan bahwa calon independen yang naik akan menjadi tidak kuat dan menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil. Namun klaim tersebut tidak beralasan, karena masyarkat yang akan tampil menjadi garda depan menghadang mereka yang semena – mena terhadap pemimpin yang mengamalkan amanat rakyat.
Kaum cendikiawan, media massa, dan pihak lain yang peduli akan hak – hak asasi rakyat hendaknya mempromosikan wacana tentang perlunya calon independen dalam pemilihan umum mendatang. Wacana tersebut untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dan memberi tekanan kepada pemerintah untuk membuka peluang bagi calon alternatif. Karena setidaknya ada tiga keuntungan dari kehadiran calon independen dalam sistem perpolitikan Indonesia.
Pertama, calon independen merupakan bentuk kontrol bagi partai politik peserta pemilu. Kehadiran calon independen membuat partai politik lebih hati – hati dalam memperjuangkan kepentingan elitnya, mengingat ancaman swing voters yang bisa beralih ke calon independen. Harapannya, partai politik lebih memperjuangkan kesejahteraan rakyat, jika ingin tetap dipilih rakyat. Dalam konteks ini, calon independen mengambil peran sebagai oposisi, yang secara konstan berfungsi menantang status quo. Fungsi ini penting untuk dilaksanakan, karena tidak ada partai peserta pemilu yang melaksanakan peran yang jelas sebagai partai oposisi. PDIP perjuangan yang mengklaim sebagai partai oposisi di tingkat pusat pun tidak menunjukkan peran oposisi yang nyata. Lebih kabur lagi peran oposisi tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten.
Kedua, calon independen yang terpilih kecil peluang untuk sewenang – wenang. Argumen yang menyokong klaim ini adalah calon independen tidak punya backing yang kuat di legislatif dan sekaligus terlepas dari konspirasi khusus dengan partai politik, selain janjinya terhadap rakyat. Oleh karena itu, calon independen terpilih akan lebih besar peluang keperpihakan kepada konstituennya, karena pendukungnya adalah massa riil, bukan partai politik. Dengan kata lain, pemimpin dari jalur independen baik di eksekutif maupun legislatif akan berakibat positive bagi peningkatan prinsip kehati-hatian.
Ketiga, calon independen akan meningkatkan jumlah peserta pemilu. Banyak calon pemilih yang memilih untuk tidak ikut pemilu alias ’golput’ karena tidak percaya dengan partai politik yang ada. Calon independen menjadi wadah alternatif yang menampung suara – suara golongan yang apatis dengan partai politik. Dalam demokrasi partai politik adalah sarana bukan tujuan. Jika sarana tidak membantu rakyat mencapai tujuan, maka perlu untuk mempertimbangkan sarana lain yang lebih efektif. Calon independen adalah bentuk koreksi atau pilihan alternatif yang dapat meningkatkan efektivitas pemilihan umum.
Harapannya adalah bahwa paradoks kenaikan gaji pemerintah berbanding terbalik dengan keberhasilan pembangunan bisa di eliminir. Prinsip no gain no reward perlu ditegakkan agar para pejabat tidak seenaknya memperkaya diri sendiri. Sehingga pada gilirannya, gelar partai politik dan legislatif sebagai lembaga paling korup di Indonesia bisa dihapus. Karena hal – hal demikian hanya akan meningkatkan anarki yang kemudian, mengancam keutuhan negara Republik Indonesia.
Kesimpulannya, menyaksikan mengganasnya kesewenang-wenangan partai politik yang dibuktikan dengan penjabaran PP 37/2006, maka hegemoni partai politik di Indonesia perlu dikikis. Calon independen baik di legislatif maupun eksekutif perlu diakomodasi dalam pemilu 2009, sebagai tantangan bagi dominasi partai politik dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, promosi akomodasi calon independen adalah suatu urgensi bagi semua pihak, terutama para cendikiawan dan media massa. Calon independen akan menjadi oposisi alternatif bagi sistem politik dimana tidak terlihat peran partai oposisi yang jelas. Calon independen terpilih pun pada gilirannya akan berakibat positif bagi good governance. Terlebih, calon independen menjadi penampung alternatif bagi suara – suara yang selama ini memilih ’golput’. Dengan demikian demokrasi di negara ini dikembalikan esensinya, dari prinsip ’dari rakyat, oleh partai, untuk partai’ menjadi ’dari rakyat, oleh rakyat , untuk rakyat’.

1 comment:

Gregorius Abanit Asa said...

Ulasan yang bagus sekali...setuju. Tulisan maun pernah saya baca tahun 2006, jika tidak salah...hehe

fenomena apatis rakyat terhadap partai politik mulai menunjukkan giginya. Nampaknya partai kehilangan 'power' untuk meraup suara rakyat. Setidaknya pengalaman seperti Aceh, Kupang, dan DKI jakarta, mengafirmasi pentingnya figur independen sebagai kekuatan tandingan untuk menggugat hegemoni parpol.

Hemat saya persoalan kemdian adalah bagaimana merubah sistem kita yang memang sudah korupt. Sistem yang korupt sangat mudah 'menarik' siapa pun dia beralih dari idealisme ke pragmatisme, dari gigih memperjuangkan tujuan mulia ke 'lobi-lobi'. Legislatif, eksekutif, yudikatif adalah sarang mafia. Kongkalikong antar ketiga institusi ini mengkondisikan orang untuk bersikap 'asal bapa senang'.

Karenanya, sangat dibutuhkan figur independen yang selain gigih berjuang untuk pucuk pemimpin, juga pantang menyerah untuk common wealth...

Pertanyaan yang terus mengganggu saya adalah, apakah sistem kita sudah baik untuk untuk tidak korupsi (at least). Atau perlukan memformulasikan ulang sistem yang sudah ada?