Saturday 18 October 2008

Haruskah Subsidi BBM Ditiadakan?

Pemerintah Republik Indonesia berencana menaikkan harga bahan bakar minyak sekitar dua puluh hingga tiga puluh persen bulan Juni mendatang. Sudah diduga, kebijakan tersebut menuai protes dari banyak kalangan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di wilayah Jakarta dan sekitarnya bahkan mengancam bahwa ’reformasi jilid dua’ alias penggantian pemerintahan tanpa melalui pemilihan umum adalah taruhannya. Mayoritas elit politik di Senayan pun idem ditto dengan mahasiswa. Menurut para penentang, kebijakan macam ini sangat merugikan rakyat kecil juga usaha kecil. Sebaliknya, mereka menekankan fakta bahwa jajaran eksekutif belum banyak berbuat demi peningkatan produksi dan efisiensi produksi dan konsumsi bahan bakar minyak yang berujung pada ekonomi biaya tinggi. Di lain pihak, presiden dan jajarannya bergeming bahwa pengurangan subsidi BBM merupakan tindakan yang harus diambil demi kemaslahatan bangsa secara keseluruhan. Betapa tidak, dengan harga minyak sekarang saja menaikkan harga minyak tiga puluh persen akan menghemat kocek negara sekitar tiga puluh triliunan rupiah pengeluaran negara.

Cukupkah alasan untuk menolak kebijakan menaikkan harga minyak nasional? Sejauh manakah keputusan pemerintah tersebut bisa dipertanggung jawabkan? Tulisan ini berpendapat bahwa keputusan mengurangi subsidi bahan bakar minyak merupakan keputusan yang benar dan menguntungkan bangsa. Bahkan akan lebih efektif kalau subsidi macam ini ditiadakan sama sekali. Karena menghilangkan subsidi bahan bakar minyak secara gradual seperti ini tidaklah efektif dan menyebabkan akibat negatif yang berkepanjangan dan tidak tuntas.

Jika pemangkasan subsidi bahan bakar dikarenakan kondisi keuangan pemerintah yang deficit, maka sangatlah tepat jika menolak kebijakan tersebut dengan alasan pemerintah belum banyak mempromosikan produksi, penyaluran dan konsumsi minyak tidak efisien. Tentu tindakan di atas perlu dan wajib dilakukan pemerintah karena kenyataan menyatakan bahwa banyak yang dibisa dilakukan pemerintah untuk menghemat keuangan negara lewat efisiensi, penghematan, dan penggenjotan produksi. Akan tetapi penghapusan subsidi harus diletakkan pada konteks ketimpangan harga minyak dunia dan domestik yang berakibat pada berbagai macam persoal sosial dan ekonomi. Jika persoalan diletakkan pada prespektif ini, maka harga minyak dunia tidak melonjak karena Indonesia tidak mampu meningkatkan produksi, bukan juga karena kita tidak becus dalam menangani proses pembelian dan penyaluran minyak nasional yang bermuara pada ekonomi berbiaya tinggi. Dengan demikian, subsidi dilakukan untuk menjembatani gap antara harga minyak dunia dan lokal, dan bukan kompensasi terhadap inefisiensi rantai produksi dan distribusi minyak dalam negeri yang carut marut.

Penentangan itu juga mendapat justifikasi jika mempertimbangkan peran bahan bakar minyak sebagai faktor produksi yang utama yang berakibat langsung pada biaya operasional dunia usaha dan kebutuhan pokok sehari – hari. Kondisi perekonomian bangsa ini sangat rentan terhadap penerapan kebijakan sejenis ini. Alhasil kebijakan pemangkasan subsidi minyak ini merupakan tindakan benar yang tidak tepat waktu, tidak populer dan terkesan tidak pro rakyat. Dalam industri transportasi darat saja, misalnya, tiga puluh persen kenaikan harga bahan bakar minyak dipercaya meningkatkan biaya operasional sekitar dua puluh persen. Akibat yang lebih berat bakal menghempas masyarakat kalangan bawah yang mempunyai daya beli yang sangat rendah. Karena kebijakan ini secara langsung akan memangkas kemampuan mereka memenuhi kebutuhan harian mereka karena lonjakan harga barang dan jasa pasti mengiringi kenaikan harga minyak. Artinya, jumlah angka kemiskinan akan melonjak secara signifikan.

Hanya saja, alasan di atas menyiratkan suatu gambaran perekonomian bangsa yang semu. Contoh kecil seperti biaya produksi jasa angkutan yang ternyata lebih tinggi dari yang seharusnya, dan jumlah kemiskinan yang sejatinya lebih besar dari angka statistik yang menjadi acuan kita, menggambarkan absurditas asumsi – asumsi ekonomi negara ini. Data yang tidak valid dan menyesatkan menelurkan asumsi – asumsi pembangunan yang bias dan membiakkan spekulasi para rentenir. Karena itu, penghapusan subsidi minyak seharusnya dilakukan sebagai suatu upaya perbaikan masa depan perekonomian bangsa. Maksudnya, mengalihkan subsidi konsumsi dan mengarahkan pengalokasiannya kepada bidang – bidang yang sifatnya belanja modal dan investasi jangka panjang.

Pemerintah benar dalam stretegi penghapusan subsidi bahan bakar minyak. Sayangnya teknik menaikkan secara gradual sangatlah tidak efektif bahkan memberi akibat negatif yang lebih besar daripada menaikkannya sekaligus. Seharusnya, pemerintah menghapus secara permanen subsidi minyak dan mengalihkan dana tersebut kepada program – program yang lebih tepat sasaran dan tepat guna. Kebijakan radikal seperti ini memang menyakitkan dan menimbulkan gejolak yang sangat mengkhawatirkan, tetapi tidak lebih pahit daripada menaikkan secara perlahan – lahan. Ada perbagai pertimbangan untuk menaikkannya secara sekaligus, seperti yang akan dibahas di bawah ini.

Spekulasi, Penyalahgunaan, dan Kepanikkan
Perbedaan harga minyak antar kelompok konsumen dalam negeri maupun dengan pasar internasional menjadi memicu spekulasi, penyelundupan dan kepanikan di masyarakat. Para rentenir termasuk pengusaha minyak dan pedagang kebutuhan sehari - hari, memanfaatkan momentum pengumuman kenaikkan harga bahan bakar minyak untuk meraup keuntungan sesaat. Faktanya kenaikkan tiga puluh persen itu baru akan berlaku sebulan kemudian tetapi harga banyak barang kebutuhan telah melonjak naik. Artinya pada saatnya harga bahan bakar dinaikkan para spekulan akan menaikkan harga lagi. Sementara para pengusaha nakal mulai menimbun stok bahan bakar sampai satu bulan ke depan untuk mendapatkan margin keuntungan yang lebih besar. Tentu sangat menyenangkan menyetok sebulan dan mendapatkan keuntungan puluhan kali lipat dari keuntungan bunga simpanan di bank. Hasil spekulasi di atas menyebabkan masyarakat menderita apa yang diibaratkan ’sudah jatuh ketimpa tangga pula’. Kalau harga dinaikkan sekaligus tentu kenaikkan harga barang hanya terjadi sekali dan aksi penimbunan akan sangat merugikan pengusaha. Karena harga minyak dunia naik turun menyebabkan penimbunan malah menciptakan ketidakpastian usaha.

Menyamakan harga minyak nasional dengan harga minyak dunia juga mengurangi insentif penyalahgunaan minyak bersubsidi oleh mereka yang tidak berkepentingan dan penyelundupan minyak keluar negeri. Sudah merupakan rahasia umum bahwa banyak pengusaha nakal yang membeli minyak bersubsidi daripada membeli minyak untuk industri yang harganya jauh lebih mahal. Penyaluran minyak bersubsidi kepada industri dan penimbunan oleh pedagang adalah biang kerok kelangkaan minyak akhir – akhir ini. Situasi ini juga diperparah dengan penyelundupan minyak ke negara – negara tetangga yang harga bahan bakarnya dijual lebih tinggi. Dengan demikian subsidi lebih merugikan bangsa daripada menguntungkan rakyat banyak.

Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah bahwa kepanikan selalu menyertai setiap keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar. Sejak hari diumumkan, antrian panjang kendaraan dan kelangkaan bahan bakar hampir terjadi di seantero negeri. Kelangkaan terjadi karena masyarakat yang panik membeli melebihi suplai harian dari stasiun bahan bakar minyak. Disini prinsip keseimbangan antara supply dan demand tidak bekerja karena faktor external (externality), yakni rush. Artinya tanpa mengurangi stokpun permintaan yang demikian tinggi menyebabkan kelangkaan suplai. Dengan demikian pilihan menaikkan sekaligus lebih efektif daripada menaikkan harga bahan bakar secara berulang kali.

Efesiensi energi dan energi alternatif
Hal keempat yang menyokong keputusan pemerintah adalah harga bahan bakar yang murah dalam negeri tidak memberi insentif bagi penghematan energi dan pengembanan energi alternatif. Selama bahan bakar minyak masih disubsidi maka tidak ada tekanan untuk menggunakan energi secara hemat. Energi minyak yang murah juga tidak memicu kreativitas untuk mengembangkan sumber – sumber energi non-fosil. Sampai hari ini bahan bakar fosil lebih unggul dari sumber energi yang lain, karena ketersediaan infrastruktur dan harga produksi yang relatif rendah dari sumber energi lainnya. Keunggulan kompetitif ini menyebabkan bahan bakar minyak fosil tetap menguasai pasar energi. Misalnya, gembar – gembor etanol akhirnya surut karena ternyata biaya produksi jauh di atas biaya produksi energi konvensional. Harga biofuel hanya ekonomis jika harga minyak mentah dunia melebihi seratus dollar Amerika per barelnya. Harga produksi energi tata surya pun setali tiga uang mahalnya dibandingkan dengan harga energi yang diproduksi dengan bahan bakar fosil terutama minyak diesel.

Deversifikasi energi membutuhkan momentum untuk mengejawantah. Pengembangan sains dan teknologi yang memihak pada energi non-migas membutuhkan driving force yang melebihi kekuatan status quo yakni keunggulan mengkonsumsi energi migas saat ini. Para ahli manajemen berpendapat bahwa dua usaha bisa yang dilakukan yakni memperkuat tekanan untuk berubah dan atau terus menerus menggerogoti posisi status quo. Dalam tataran nasional, subsidi minyak membuat berbagai pihak menafikan urgensitas penghematan energi fosil dan pengembangan energi alternatif. Bahkan ada kesan falasi bahwa negara kaya minyak seperti Indonesia seharusnya tidak menerapkan harga minyak mahal. Kenyataannya kita telah menjadi negara pengimpor minyak. Menghilangkan subsidi berarti mengikis keunggulan bahan bakar minyak sebagai energi primadona peradaban dunia saat ini. Dengan demikian, memberi peluang untuk pengembangan sumber energi non-migas di sekitar kita.

Penghapusan subsidi juga menekan konsumen untuk berhemat dalam menggunakan energi dalam kehidupan sehari – hari. Fakta sehari – hari membuktikan bahwa porsi terbesar subsidi itu dinikmati oleh mereka yang tidak seharusnya disubsidi. Bahkan sepuluh persen rakyat miskin menikmati tidak lebih dari satu persen subsidi tersebut. Penghematan minyak akan terjadi ketika orang merasakan bahwa isi kantongnya terkuras akibat mengkonsumsi minyak secara tak terkontrol. Ada yang berargumen bahwa penerapan progressive tax dan kebijakan perpajakan lain bisa mengatasi hal ini; tetapi penghapusan subsidi lebih efektif dan tidak berliku – liku.

Resiko dan konsekuensi penghapusan subsidi
Isu akuntabilitas dan efektivitas pengalihan subsidi tetap menggantung di langit – langit pemikiran para pengkritik kebijakan perminyakan Indonesia. Situasi ini diperumit dengan kebrutalan penentang penghapusan subsidi minyak yang sering merujung pada anarki. Penangguhan subsidi bahan bakar minyak harus diiring dengan langkah – langkah kebijakan energi nasional yang strategik dan komprehensif. Tentunya masalah korupsi tetap menjadi tantangan utama pemerintah yang harus diatasi untuk memupuskan pengindentikan kebijakan tersebut dengan pengorbanan masyarakat kecil. Langka – langka strategik yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.

Pertama, alokasi dana kompensasi subsidi bahan bakar minyak kepada program – program yang menyentuh hajat hidup orang banyak dan bersifat jangka panjang. Program transportasi murah, cepat dan nyaman merupakan program pertama. Di samping itu, fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah bahkan gratis, berkualitas dan memadai merupakan pilihan berikutnya. Kenyataan menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi yang tidak memadai ditambah dengan industri angkutan umum yang tidak berkualitas dan mengorbankan hak konsumen adalah keluhan terbesar di negeri ini. Pendidikan dan pelayanan kesehatan murah kepada masyarakat kecil memang telah dikumandangkan, hanya seakan membentur dinding ketika masuk pada tataran implementasi. Diskriminasi terhadap pemegang askeskin adalah contoh kecil dari aplikasi pelayanan kesehatan yang tidak pro orang kecil. Pemerintah juga perlu mengembangkan program subsidi dan insentif bagi pemakaian energi alternatif. Misalnya, pemotongan pajak dan subsidi penggunaan energi bertenaga matahari perlu digalakkan di seluruh republik ini. Karena energi jenis ini tersedia sepanjang tahun dus ramah lingkungan.

Kedua, pemerintah mulai dari presiden harus memprakarsai program penghematan belanja negara di bidang energi. Tanpa mempergunjing perilaku para pejabat di pusat, kenyataan sehari – hari menunjukkan bahwa pejabat daerah tidak mempunyai sense of crisis ketika menggunakan kendaraan dinas. Setelah jam dinas kendaraan dinas dipakai oleh pejabat untuk urusan pribadi. Bahkan bukan pejabat tetapi juga kerabat atau rekan – rekannya. Akan terlihat santun jika kendaraan dinas hanya dipakai untuk kepentingan dinas. Selepas jam dinas kendaran dinas harus diparkir di gudang pemerintah bukan rumah pejabat. Dengan demikian rakyat mafhum akan kepedulian pemerintah terhadap penderitaan rakyat lantaran harga minyak yang mahal.

Ketiga, pemerintah perlu menerapkan sistem kebijakan publik yang terintegrasi. Penolakan keras terhadap kebijakan penghapusan subsidi minyak lebih dikarenakan kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap kemampuan pemerintah untuk mengelolah negara. Betapa tidak, SBY dan jajarannya pernah berjanji tidak lagi menaikkan harga minyak saat mengumumkan kenaikan sebelumnya. Masyarakat pun menyangsingkan kemampuan pemerintah untuk mengelolah secara efektif dan bertanggung jawab dana kompensasi subsidi bahan bakar minyak yang ada. Hal ini lebih dipekeruh lagi dengan kritikan – kritikan para pengamat yang menyoroti kegagalan eksplorasi, kebijakan dan kinerja industri perminyakan nasional yang sebenarnya tidak menyelesaikan masalah yang timbul dari kebijakan subsidi minyak sendiri. Kenyataan – kenyataan di atas perlu diklarifikasi oleh pemerintah lewat sistem public relation yang yang komprehensif seraya memastikan bahwa kebijakan pemerintah dapat dikawal sampai tingkat implementasi. Negara – negara yang tidak mensubsidi bahan bakar minyak ternyata tidak kesulitan menghadapi harga bahan bakar yang fluaktuatif setiap hari.

Secara umum, kebijakan pengurangan subsidi harga minyak adalah benar. Bahkan akan lebih tepat kalau dihapus secara langsung. Karena subsidi merupakan satu bentuk economic falacy yang menjadi penyebab spekulasi, penimbunan, penyelundupan, dan kepanikan. Bahkan subsidi minyak tidak memberi insentif penghematan dan pengembangan sumber – sumber energi alternatif. Sebaliknya pemerintah perlu mensubsidi program yang sifatnya investasi jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan dan perbaikan infrastruktur transportasi nasional. Karena subsidi sektor konsumtif hanya akan menguras keuangan negara tanpa memberi manfaat jangka panjang. Kata orang bijak, kalau mau sembuh jangan takut menenggak pil pahit. Bersakit – sakit dahulu bersenang – senang kemudian.

No comments: