Tuesday 28 October 2008

REFORMASI PERUSAHAAN DAERAH DI NTT

Herman Seran

Pos Kupang (21/10/2008) dengan sangat rinci menggambarkan bobroknya kinerja hampir semua perusahaan daerah di NTT. Artikel tersebut secara implisit menampilkan apa yang menjadi inti persoalan yang dihadapi institusi bisnis daerah tersebut. Inti dari kegagalan perusahaan daerah untuk menyumbang pemasukan bagi daerah adalah budaya organisasi (organizational culture) perusahaan daerah. Kultur organisasi ini tumbuh dari tujuan pendirian perusahaan yang non-profit oriented or profit maximizing. Motivasi organisasi ini diperparah dengan muatan kepentingan pribadi dan golongan tertentu yang berlanjut bertahun – tahun tanpa terkontrol. Alhasil, budaya internal terkondisikan sedemikian rupa sehingga tidak mampu berkompetisi bahkan sekarat dalam iklim bisnis dari masa ke masa.

Pakar manajemen dan filosof, Peter F. Drucker, pernah menulis bahwa institusi pemerintah dalam kinerjanya yang terbaik seringkali jauh lebih buruk dari kinerja swasta yang terjelek sekalipun. Tanpa mengabaikan debat tentang validitas pernyataan tersebut, gambaran perusahaan daerah di NTT memperkuat argumentasi tersebut. Kalau demikian apakah bisnis milik pemerintah harus ditiadakan? Jawabannya adalah tidak selamanya harus ditutup, tetapi hanya diarahkan pada sektor – sektor yang krusial saja. Perusahaan milik pemerintah sangat diperlukan untuk menangani bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang sering kali dilaksanakan dengan tidak bertanggung jawab oleh pihak swasta. Namun demikian, perusahaan daerah harus dikelolah secara visioner, strategis, dan akuntabel. Berikut ini akan dibahas faktor – faktor yang berkontribusi bagi kerugian perusahaan daerah, kemudian diikuti dengan diskusi tentang pendekatan – pendekatan yang perlu dilakukan oleh perusahaan daerah sehingga bisa berperan secara efektif dan efisien dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.

Setidaknya ada tiga hal membentuk budaya organisasi yang menjadi biang kerok kerugian organisasi bisnis milik pemerintah, terutama perusahaan daerah di NTT. Ketiga hal itu adalah tujuan yang asal - asalan, muatan kepentingan yang menghalangi penerapan startegi bisnis yang tepat, dan akuntabilitas yang minim. Pertama, pendirian perusahaan yang tidak dilandasi oleh penentuan tujuan yang tepat menyebabkan kinerja perusahaan menjadi tidak efektif. Perusahaan daerah dibentuk harus dengan tujuan menangani bidang – bidang usaha yang tidak ekonomis jika dikelolah pihak swasta dan atau sebagai instrumen intervensi pemerintah untuk menjaga iklim bisnis yang kompetitif untuk semua pelaku usaha sektor tersebut (looking after public goods and maintaining the level of playing field). Jadi perusahaan daerah tidak didirikan karena sebab daerah lain demikian. Dalam terang pemikiran di atas, maka adalah suatu kekeliruan jika membuka perusahaan daerah untuk mengelolah restoran ikan bakar. Dengan kata lain, PD Cendana Wangi (TTU) keliru menentukan lahan bisnis (restoran ikan bakar) karena tidak dilandasi oleh tujuan yang tepat. Karena hal demikian analog dengan menjerat burung dengan menggunakan tali sapi.

Hal kedua adalah perusahaan daerah tidak pernah mampu menerapkan strategi – strategi yang jitu untuk mencapai tujuan kehadirannya di jagat bisnis karena dominasi muatan kepentingan pribadi dan non- bisnis yang sangat kental. Sudah merupakan rahasia umum bahwa penentuan pengelolah Perusda selama ini lebih kerap didasarkan pada dua alasan, yakni ‘tempat pembuangan’ bagi musuh politik dan atau memudahkan ‘akses’ kepada uang tunai jika diperlukan. Jika alasan pertama yang dipakai, maka sudah hampir pasti orang yang ditempatkan di perusda berkinerja buruk dan jangan harap bisa membawa kesuksesan. Jika sebaliknya maka maka perusahaan daerah ditakdirkan untuk menjadi sapi perah. Artinya, jangan mengharapkan kontribusi perusda untuk APBD karena sejatinya perusada tidak pernah dimaksudkan untuk menghasilkan keuntungan bagi daerah. Sehingga, tidaklah mengherankan kalau sampai puluhan tahun suntikan modal jalan lancar tapi asset perusahaan merosot lebih cepat lagi seperti air terjun. Sebagai catatan, nilai rupiah yang disumbangkan perusahaan daerah ke PAD sebenarnya adalah revenue bukan profit. Artinya, nilai asset perusahaan sudah negatif tanpa penyertaan modal pemerintah.

Alasan ketiga yang menjadikan perusahaan daerah menjadi mandul, bahkan menyusut dari waktu ke waktu, adalah akuntabilitas yang sangat rendah, kalau tidak mau dibilang tidak ada. Dapat dibayangkan bahwa kerugian unit – unit usaha ini telah berlangsung puluhan tahun, tetapi baru sekarang isu itu mencapai kesadaran publik. Pemerintah dan wakil rakyat kemana saja selama ini, sehingga perusahaan yang terus menerus disuntiki dana segar tapi kinerjanya tidak pernah diperdebatkan? Mengapa terus digelontorkan modal kalau pemasukan yang diberikan tidak pernah ada? Mengapa tidak diaudit secara independen agar ketahuan dimana letak persoalan sebenarnya? Pertanyaan – pertanyaan di atas menyiratkan betapa payahnya tingkat pengawasan dan pertanggungjawaban perusahaan – perusahaan daerah kita. Seandainya mereka diaudit dan diawasi secara bertanggung jawab, tentu dapat diindetifikasi lebih dini sebab kerugiannya, baik karena peran sosial perusahaan atau karena amburadulnya manajemen. Hal ini akan menghindari pengkambinghitaman seperti pernyataan kedua pengelolah PDAM TTS dan Ende, yang mengatakan bahwa keuntungan PDAM adalah suplai air bersih yang dinikmati masyarakat. Karena kalau memang demikian, seharusnya dibentuk dinas atau badan air bersih bukan perusahaan air minum.

Untuk menggerogoti budaya perusahaan yang menghambat kinerja yang optimal perusahan daerah, maka reformasi harus dimulai dari visi dan misi awal didirikannya suatu perusahaan daerah. Perusahaan milik pemerintah seharusnya didirikan sebagai strategi jangka panjang pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Artinya, kontribusi finansial buat APBD harus diletakkan pada konteks yang lebih luas meliputi kuantifikasi kontribusi bagi kemaslahatan masyarakat luas. Perusahaan daerah perlu memfokuskan diri pada sektor – sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Perusahaan daerah juga dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang bagi usaha swasta dimana ada kecenderung monopolistik yang merugikan konsumen secara keseluruhan. Misalnya, perusahaan daerah perlu hadir untuk membeli kelebihan stok produksi pertanian dengan harga bersaing saat musim panen dan menjual dengan harga pantas saat komoditi menipis di pasaran. Dengan demikian, stabilitas harga dan supply bisa terjaga secara seimbang. Di sini peran perusahaan daerah merupakan kontrol pemerintah untuk mengatasi kompetisi yang tidak berjalan sehat (market inefficiency).

Dengan demikian perusahaan daerah tidak harus terperosok ke jurang yang sama seperti PD Kantong Semen, yang terlibat dalam usaha yang sebenarnya tidak krusial bagi kepentingan orang banyak dan bisa dikerjakan oleh swasta secara lebih efesien. Dalam hal ini PD Kantong Semen sebenarnya terperangkap dalam bargaining power of costumers dari Five Forces Framework-nya Michael E. Porter, yang merupakan satu batu sandungan yang dihindari oleh perusahaan – perusahaan modern. Sebaliknya, mengurusi air minum, mengendalikan harga komoditas lokal, mengusahakan transportasi antar pulau adalah bidang yang paling tepat bagi perusahaan daerah, hanya saja perlu dikelolah secara profesional dan akuntabel. Sektor – sektor usaha demikian sering kali tidak ekonomis dikelolah secara komersial dan rentan untuk monopoli yang pada akhirnya berimbas negatif bagi kesejahteraan umum.

Satu hal juga sangat penting untuk diperhatikan permerintah adalah prinsip ‘the man behind the gun’ dalam pengelolaan perusahaan daerah. Sebagus apa pun program dan fasilitas usaha yang ada, kalau manajemen tidak kapabel jangan pernah berharap tujuan tercapai. Direktur perusahaan harus ditempati oleh orang yang mampu di bidangnya. Kepadanya harus digariskan target kinerja yang terukur, lengkap dengan konsekuensi positif dan negatifnya. Hal ini dibarengi dengan audit berkala yang meliputi kinerja maupun keuangan perusahaan. Karena itu, perusahaan daerah tidak boleh lagi menjadi tempat pembuangan atau sapi perah pejabat – pejabat tertentu.

Kesimpulannya, kerugian perusahaan daerah yang terus menerus bisa diatasi dengan melakukan perombakan total terhadap visi dan misi perusahaan. Perusahaan daerah harus lebih difokuskan pada pekerjaan yang bernilai strategis untuk pembangunan daerah. Dengan demikian budaya organisasi yang tidak kondusif untuk penerapan strategi bisnis yang tepat dapat digerogoti. Untuk itu, perlu ditempatkan manajer yang profesional diikuti dengan akuntabilitas dan pengawasan yang melekat. Semoga ekonomi berkembang dengan baik, pendapatan rakyat meningkat, penghasilan asli daerah semakin banyak.

No comments: