Saturday 18 October 2008

PLTN Pilihan Yang Tidak Strategis

Herman Seran

Salah satu alternatif sumber energi listrik di Indonesia adalah nuklir, yang hendak digalakkan pemerintah Indonesia. Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebagai energi alternatif di Indonesia merupakan suatu pilihan yang tidak strategis. Namun, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Satu analogi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap pemerintah, yang bersikukuh untuk merealisasikan pengembangan energi nuklir di sekitar Gunung Muria.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan protes masyarakat sekitar Gunung Muria dan lembaga non-pemerintah dan mengkaji ulang keputusan tersebut. Mencari energi alternatif adalah wajib hukumnya, tetapi nuklir bukanlah pilihan yang tepat untuk dikembangkan di Indonesia. Faktor – faktor seperti ekonomi, politik, geologi, dan kondisi keamanan Indonesia sangat tidak mendukung untuk pengembangan pusat listrik tenaga nuklir.

Program yang tidak strategis
Dari segi ekonomi, pengembangan energi nuklir di Indonesia bukanlah pilihan yang kompetitif. Capital costs untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir sangat tinggi dibandingkan dengan gas dan batubara. Waktu konstruksinya pun relatif lama, sekitar lima tahun. World Nuclear Association (WNA) memperkirakan 40 sampai 60 tahun diperlukan untuk membayar kembali modal yang diinvestasikan pada reaktor nuklir. International Energy Agency (IEA) berpendapat bahwa belanja modal yang tinggi menjadikan energi nuklir suatu pilihan yang tidak ekonomis.
Memang ada argumen bahwa operational and maintenance costs energi nuklir termasuk yang paling rendah. Akan tetapi kondisi khusus setiap negara sangat menentukan besarnya biaya operasional dan pemeliharaan. Kondisi geologis dan keamanan Indonesia yang tidak kondusif akan mempengaruh biaya operasional reaktor nuklir. Hal ini akan lebih serius jika menilik kenyataan bahwa operasional PLTN di banyak negara hanya bertahan karena subsidi pemerintah masing – masing negara.
Bahan baku nuklir saat ini memang hanya mencakup sekitar lima persen dari operational cost. Akan tetapi, harga uranium naik secara signifikan akhir – akhir ini. Trend ini sepertinya akan menjadi persoalan yang semakin serius, jika deposit uranium yang berkadar tinggi makin menipis. Harga uranium di masa – masa mendatang akan melambung tinggi sebagai akibat dari peningkatan biaya produksi uranium.
Sementara itu, ‘bargaining power’ Indonesia terhadap penyedia bahan baku sangat rendah, kalau tidak mau dibilang tidak ada. Karena Indonesia tidak mempunyai cadangan bijih uranium. Alasannya, lebih dari sembilan puluh persen uranium dunia diproduksi oleh lima negara produsen utama. Mereka adalah Canada, Australia, Nigeria, Namibia, dan Rusia. Dewasa ini hampir tujuh puluh lima persen deposit uranium dunia yang teridentifikasi dikuasai lima negara. Fakta – fakta di atas menjelaskan betapa tingginya ‘power of supplier’ di pasar bahan baku energi nuklir.
Dengan kata lain, pembangkit tenaga nuklir hanya akan meningkatkan ketergantungan Indonesia kepada bangsa lain, khususnya produsen uranium. Di samping itu PLTN akan menggerogoti keuangan negara yang sering defisit.

Intensitas ancaman keamanan nasional
Tanpa menafikan kesuksesan pemberantasan terorisme akhir – akhir ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat terorisme dunia. Tidak ada jaminan kapan masalah terorisme akan dituntaskan. Dengan demikian, kehadiran reaktor nuklir di Pulau Jawa berpotensi meningkatkan intensitas resiko teroris di Indonesia dan dunia.
Dalam skenario terburuk, apa yang akan terjadi jika reaktor nuklir di kuasai kelompok yang tidak bertanggung jawab? Tentu tidak ada yang menghendaki hal demikian terjadi. Jadi tidak ada salahnya kalau faktor ini dijadikan salah satu parameter dalam menilai kehadiran reaktor nuklir di Indonesia. Karena investor pasti akan memasukkan faktor ini dalam menghitung tingkat resiko investasi atau ‘discount rate’. Dengan kata lain, hal ini akan meningkatkan ‘cost of capital’.

Bahaya kebocoran dan penanganan limbah nuklir
Kondisi geologi pulau Jawa yang terletak pada tepi jalur subduksi lempeng Hindia – Australia di bawah lempeng Eurasia, menjadikan daerah ini rawan bencana geologi mulai dari gempa bumi, letusan gunungapi, hingga kemungkinan tanah longsor. Konstruksi reaktor nuklir di Jawa Tengah merupakan suatu pilihan yang sangat riskan. Probabilitas insiden akibat faktor geologi akan semakin besar.
Australia, negara penghasil uranium dengan kondisi geologi yang stabil, sampai hari ini baru pada tahap perdebatan publik tentang kemungkinan mengembangkan reaktor nuklir. Bahkan masyarakat Australia tidak mau limbah nuklir dibuang kembali ke wilayah Australia. Walaupun negara tersebut termasuk produsen nuklir terbesar, setelah Kanada, dan merupakan pemilik cadangan uranium terbesar di dunia. Lalu, kemana limbah nuklir PLTN di Indonesia harus disimpan?
Daerah yang secara geologis paling stabil di Indonesia hanyalah Kalimantan. Apakah masyarakat Kalimantan mau menerima limbah nuklir disimpan di lingkungan sekitarnya? Jika mereka menolak, kita tidak bisa mengembalikan ke negara produsen, karena warganyapun tidak mau limbah nuklir dibenamkan di negaranya. Dengan demikian, kebocoran reaktor dan penanganan limbah nuklir menjadikan opsi energi nuklir yang beresiko tinggi buat Indonesia dibandingkan negara lain.

Energi ramah lingkungan yang diperdebatkan
Para pendukung energi nuklir berpendapat bahwa sumber energi yang satu ini relatif tidak menghasilkan emisi buangan karbon dioksida. Pernyataan ini menjadi salah ketika energi yang digunakan untuk memproduksi energi nuklir juga dipertimbangkan. Sampai saat ini, dan sepertinya masih akan berlanjut, kegiatan penambangan, transportasi, dan proses uranium masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya. Seirama dengan menurunnya kualitas bijih uranium maka konsumsi bahan bakar fosil akan semakin meningkat. Oxford Research Group pada tahun 2006, memperkirakan, ‘net energy’ yakni selisih antara energi nuklir dan energi untuk memproduksi energi nuklir, menurun secara drastis setelah 2066. Hal ini berbanding terbalik dengan peningkatan drastis emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari setiap kilogram uranium pada kurun waktu yang sama. Sehingga, secara komprehensif, predikat nuklir sebagai ‘clean energy’ masih dalam perdebatan.
Ringkasnya, keputusan pengembangan energi nuklir di Indonesia terlalu prematur. Karena hal ini akan meningkatkan ketergantungan secara ekonomis maupun politis pada pihak asing, khususnya supplier uranium. Sementara, ‘capital costs’ yang dibutuhkan sangat tinggi menjadikan energi nuklir tidak ekonomis di Indonesia. Hal ini diperburuk oleh peningkatan harga uranium dunia yang berimplikasi pada peningkatan ‘operational cost’. Hal lainnya adalah kondisi geologi Indonesia yang tidak kondusif ditambah dengan masalah terorisme di Indonesia yang akan berimplikasi pada peningkatan resiko kebocoran, keamanan reaktor nuklir dan ‘waste management’. Sebaliknya, anggapan bahwa energi nuklir merupakan ‘clean energy’ masih dipertanyakan. Karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang rencana pengembangan reaktor nuklir di Indonesia sebelum menyesal di kemudian hari. Karena akan lebih pantas jika pemerintah mensubsidi program listrik tenaga surya daripada program yang tidak jelas maslahatnya bagi nusa dan bangsa.

No comments: