Tuesday 28 October 2008

REFORMASI PERUSAHAAN DAERAH DI NTT

Herman Seran

Pos Kupang (21/10/2008) dengan sangat rinci menggambarkan bobroknya kinerja hampir semua perusahaan daerah di NTT. Artikel tersebut secara implisit menampilkan apa yang menjadi inti persoalan yang dihadapi institusi bisnis daerah tersebut. Inti dari kegagalan perusahaan daerah untuk menyumbang pemasukan bagi daerah adalah budaya organisasi (organizational culture) perusahaan daerah. Kultur organisasi ini tumbuh dari tujuan pendirian perusahaan yang non-profit oriented or profit maximizing. Motivasi organisasi ini diperparah dengan muatan kepentingan pribadi dan golongan tertentu yang berlanjut bertahun – tahun tanpa terkontrol. Alhasil, budaya internal terkondisikan sedemikian rupa sehingga tidak mampu berkompetisi bahkan sekarat dalam iklim bisnis dari masa ke masa.

Pakar manajemen dan filosof, Peter F. Drucker, pernah menulis bahwa institusi pemerintah dalam kinerjanya yang terbaik seringkali jauh lebih buruk dari kinerja swasta yang terjelek sekalipun. Tanpa mengabaikan debat tentang validitas pernyataan tersebut, gambaran perusahaan daerah di NTT memperkuat argumentasi tersebut. Kalau demikian apakah bisnis milik pemerintah harus ditiadakan? Jawabannya adalah tidak selamanya harus ditutup, tetapi hanya diarahkan pada sektor – sektor yang krusial saja. Perusahaan milik pemerintah sangat diperlukan untuk menangani bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang sering kali dilaksanakan dengan tidak bertanggung jawab oleh pihak swasta. Namun demikian, perusahaan daerah harus dikelolah secara visioner, strategis, dan akuntabel. Berikut ini akan dibahas faktor – faktor yang berkontribusi bagi kerugian perusahaan daerah, kemudian diikuti dengan diskusi tentang pendekatan – pendekatan yang perlu dilakukan oleh perusahaan daerah sehingga bisa berperan secara efektif dan efisien dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.

Setidaknya ada tiga hal membentuk budaya organisasi yang menjadi biang kerok kerugian organisasi bisnis milik pemerintah, terutama perusahaan daerah di NTT. Ketiga hal itu adalah tujuan yang asal - asalan, muatan kepentingan yang menghalangi penerapan startegi bisnis yang tepat, dan akuntabilitas yang minim. Pertama, pendirian perusahaan yang tidak dilandasi oleh penentuan tujuan yang tepat menyebabkan kinerja perusahaan menjadi tidak efektif. Perusahaan daerah dibentuk harus dengan tujuan menangani bidang – bidang usaha yang tidak ekonomis jika dikelolah pihak swasta dan atau sebagai instrumen intervensi pemerintah untuk menjaga iklim bisnis yang kompetitif untuk semua pelaku usaha sektor tersebut (looking after public goods and maintaining the level of playing field). Jadi perusahaan daerah tidak didirikan karena sebab daerah lain demikian. Dalam terang pemikiran di atas, maka adalah suatu kekeliruan jika membuka perusahaan daerah untuk mengelolah restoran ikan bakar. Dengan kata lain, PD Cendana Wangi (TTU) keliru menentukan lahan bisnis (restoran ikan bakar) karena tidak dilandasi oleh tujuan yang tepat. Karena hal demikian analog dengan menjerat burung dengan menggunakan tali sapi.

Hal kedua adalah perusahaan daerah tidak pernah mampu menerapkan strategi – strategi yang jitu untuk mencapai tujuan kehadirannya di jagat bisnis karena dominasi muatan kepentingan pribadi dan non- bisnis yang sangat kental. Sudah merupakan rahasia umum bahwa penentuan pengelolah Perusda selama ini lebih kerap didasarkan pada dua alasan, yakni ‘tempat pembuangan’ bagi musuh politik dan atau memudahkan ‘akses’ kepada uang tunai jika diperlukan. Jika alasan pertama yang dipakai, maka sudah hampir pasti orang yang ditempatkan di perusda berkinerja buruk dan jangan harap bisa membawa kesuksesan. Jika sebaliknya maka maka perusahaan daerah ditakdirkan untuk menjadi sapi perah. Artinya, jangan mengharapkan kontribusi perusda untuk APBD karena sejatinya perusada tidak pernah dimaksudkan untuk menghasilkan keuntungan bagi daerah. Sehingga, tidaklah mengherankan kalau sampai puluhan tahun suntikan modal jalan lancar tapi asset perusahaan merosot lebih cepat lagi seperti air terjun. Sebagai catatan, nilai rupiah yang disumbangkan perusahaan daerah ke PAD sebenarnya adalah revenue bukan profit. Artinya, nilai asset perusahaan sudah negatif tanpa penyertaan modal pemerintah.

Alasan ketiga yang menjadikan perusahaan daerah menjadi mandul, bahkan menyusut dari waktu ke waktu, adalah akuntabilitas yang sangat rendah, kalau tidak mau dibilang tidak ada. Dapat dibayangkan bahwa kerugian unit – unit usaha ini telah berlangsung puluhan tahun, tetapi baru sekarang isu itu mencapai kesadaran publik. Pemerintah dan wakil rakyat kemana saja selama ini, sehingga perusahaan yang terus menerus disuntiki dana segar tapi kinerjanya tidak pernah diperdebatkan? Mengapa terus digelontorkan modal kalau pemasukan yang diberikan tidak pernah ada? Mengapa tidak diaudit secara independen agar ketahuan dimana letak persoalan sebenarnya? Pertanyaan – pertanyaan di atas menyiratkan betapa payahnya tingkat pengawasan dan pertanggungjawaban perusahaan – perusahaan daerah kita. Seandainya mereka diaudit dan diawasi secara bertanggung jawab, tentu dapat diindetifikasi lebih dini sebab kerugiannya, baik karena peran sosial perusahaan atau karena amburadulnya manajemen. Hal ini akan menghindari pengkambinghitaman seperti pernyataan kedua pengelolah PDAM TTS dan Ende, yang mengatakan bahwa keuntungan PDAM adalah suplai air bersih yang dinikmati masyarakat. Karena kalau memang demikian, seharusnya dibentuk dinas atau badan air bersih bukan perusahaan air minum.

Untuk menggerogoti budaya perusahaan yang menghambat kinerja yang optimal perusahan daerah, maka reformasi harus dimulai dari visi dan misi awal didirikannya suatu perusahaan daerah. Perusahaan milik pemerintah seharusnya didirikan sebagai strategi jangka panjang pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Artinya, kontribusi finansial buat APBD harus diletakkan pada konteks yang lebih luas meliputi kuantifikasi kontribusi bagi kemaslahatan masyarakat luas. Perusahaan daerah perlu memfokuskan diri pada sektor – sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Perusahaan daerah juga dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang bagi usaha swasta dimana ada kecenderung monopolistik yang merugikan konsumen secara keseluruhan. Misalnya, perusahaan daerah perlu hadir untuk membeli kelebihan stok produksi pertanian dengan harga bersaing saat musim panen dan menjual dengan harga pantas saat komoditi menipis di pasaran. Dengan demikian, stabilitas harga dan supply bisa terjaga secara seimbang. Di sini peran perusahaan daerah merupakan kontrol pemerintah untuk mengatasi kompetisi yang tidak berjalan sehat (market inefficiency).

Dengan demikian perusahaan daerah tidak harus terperosok ke jurang yang sama seperti PD Kantong Semen, yang terlibat dalam usaha yang sebenarnya tidak krusial bagi kepentingan orang banyak dan bisa dikerjakan oleh swasta secara lebih efesien. Dalam hal ini PD Kantong Semen sebenarnya terperangkap dalam bargaining power of costumers dari Five Forces Framework-nya Michael E. Porter, yang merupakan satu batu sandungan yang dihindari oleh perusahaan – perusahaan modern. Sebaliknya, mengurusi air minum, mengendalikan harga komoditas lokal, mengusahakan transportasi antar pulau adalah bidang yang paling tepat bagi perusahaan daerah, hanya saja perlu dikelolah secara profesional dan akuntabel. Sektor – sektor usaha demikian sering kali tidak ekonomis dikelolah secara komersial dan rentan untuk monopoli yang pada akhirnya berimbas negatif bagi kesejahteraan umum.

Satu hal juga sangat penting untuk diperhatikan permerintah adalah prinsip ‘the man behind the gun’ dalam pengelolaan perusahaan daerah. Sebagus apa pun program dan fasilitas usaha yang ada, kalau manajemen tidak kapabel jangan pernah berharap tujuan tercapai. Direktur perusahaan harus ditempati oleh orang yang mampu di bidangnya. Kepadanya harus digariskan target kinerja yang terukur, lengkap dengan konsekuensi positif dan negatifnya. Hal ini dibarengi dengan audit berkala yang meliputi kinerja maupun keuangan perusahaan. Karena itu, perusahaan daerah tidak boleh lagi menjadi tempat pembuangan atau sapi perah pejabat – pejabat tertentu.

Kesimpulannya, kerugian perusahaan daerah yang terus menerus bisa diatasi dengan melakukan perombakan total terhadap visi dan misi perusahaan. Perusahaan daerah harus lebih difokuskan pada pekerjaan yang bernilai strategis untuk pembangunan daerah. Dengan demikian budaya organisasi yang tidak kondusif untuk penerapan strategi bisnis yang tepat dapat digerogoti. Untuk itu, perlu ditempatkan manajer yang profesional diikuti dengan akuntabilitas dan pengawasan yang melekat. Semoga ekonomi berkembang dengan baik, pendapatan rakyat meningkat, penghasilan asli daerah semakin banyak.

Saturday 18 October 2008

PLTN Pilihan Yang Tidak Strategis

Herman Seran

Salah satu alternatif sumber energi listrik di Indonesia adalah nuklir, yang hendak digalakkan pemerintah Indonesia. Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebagai energi alternatif di Indonesia merupakan suatu pilihan yang tidak strategis. Namun, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Satu analogi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap pemerintah, yang bersikukuh untuk merealisasikan pengembangan energi nuklir di sekitar Gunung Muria.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan protes masyarakat sekitar Gunung Muria dan lembaga non-pemerintah dan mengkaji ulang keputusan tersebut. Mencari energi alternatif adalah wajib hukumnya, tetapi nuklir bukanlah pilihan yang tepat untuk dikembangkan di Indonesia. Faktor – faktor seperti ekonomi, politik, geologi, dan kondisi keamanan Indonesia sangat tidak mendukung untuk pengembangan pusat listrik tenaga nuklir.

Program yang tidak strategis
Dari segi ekonomi, pengembangan energi nuklir di Indonesia bukanlah pilihan yang kompetitif. Capital costs untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir sangat tinggi dibandingkan dengan gas dan batubara. Waktu konstruksinya pun relatif lama, sekitar lima tahun. World Nuclear Association (WNA) memperkirakan 40 sampai 60 tahun diperlukan untuk membayar kembali modal yang diinvestasikan pada reaktor nuklir. International Energy Agency (IEA) berpendapat bahwa belanja modal yang tinggi menjadikan energi nuklir suatu pilihan yang tidak ekonomis.
Memang ada argumen bahwa operational and maintenance costs energi nuklir termasuk yang paling rendah. Akan tetapi kondisi khusus setiap negara sangat menentukan besarnya biaya operasional dan pemeliharaan. Kondisi geologis dan keamanan Indonesia yang tidak kondusif akan mempengaruh biaya operasional reaktor nuklir. Hal ini akan lebih serius jika menilik kenyataan bahwa operasional PLTN di banyak negara hanya bertahan karena subsidi pemerintah masing – masing negara.
Bahan baku nuklir saat ini memang hanya mencakup sekitar lima persen dari operational cost. Akan tetapi, harga uranium naik secara signifikan akhir – akhir ini. Trend ini sepertinya akan menjadi persoalan yang semakin serius, jika deposit uranium yang berkadar tinggi makin menipis. Harga uranium di masa – masa mendatang akan melambung tinggi sebagai akibat dari peningkatan biaya produksi uranium.
Sementara itu, ‘bargaining power’ Indonesia terhadap penyedia bahan baku sangat rendah, kalau tidak mau dibilang tidak ada. Karena Indonesia tidak mempunyai cadangan bijih uranium. Alasannya, lebih dari sembilan puluh persen uranium dunia diproduksi oleh lima negara produsen utama. Mereka adalah Canada, Australia, Nigeria, Namibia, dan Rusia. Dewasa ini hampir tujuh puluh lima persen deposit uranium dunia yang teridentifikasi dikuasai lima negara. Fakta – fakta di atas menjelaskan betapa tingginya ‘power of supplier’ di pasar bahan baku energi nuklir.
Dengan kata lain, pembangkit tenaga nuklir hanya akan meningkatkan ketergantungan Indonesia kepada bangsa lain, khususnya produsen uranium. Di samping itu PLTN akan menggerogoti keuangan negara yang sering defisit.

Intensitas ancaman keamanan nasional
Tanpa menafikan kesuksesan pemberantasan terorisme akhir – akhir ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat terorisme dunia. Tidak ada jaminan kapan masalah terorisme akan dituntaskan. Dengan demikian, kehadiran reaktor nuklir di Pulau Jawa berpotensi meningkatkan intensitas resiko teroris di Indonesia dan dunia.
Dalam skenario terburuk, apa yang akan terjadi jika reaktor nuklir di kuasai kelompok yang tidak bertanggung jawab? Tentu tidak ada yang menghendaki hal demikian terjadi. Jadi tidak ada salahnya kalau faktor ini dijadikan salah satu parameter dalam menilai kehadiran reaktor nuklir di Indonesia. Karena investor pasti akan memasukkan faktor ini dalam menghitung tingkat resiko investasi atau ‘discount rate’. Dengan kata lain, hal ini akan meningkatkan ‘cost of capital’.

Bahaya kebocoran dan penanganan limbah nuklir
Kondisi geologi pulau Jawa yang terletak pada tepi jalur subduksi lempeng Hindia – Australia di bawah lempeng Eurasia, menjadikan daerah ini rawan bencana geologi mulai dari gempa bumi, letusan gunungapi, hingga kemungkinan tanah longsor. Konstruksi reaktor nuklir di Jawa Tengah merupakan suatu pilihan yang sangat riskan. Probabilitas insiden akibat faktor geologi akan semakin besar.
Australia, negara penghasil uranium dengan kondisi geologi yang stabil, sampai hari ini baru pada tahap perdebatan publik tentang kemungkinan mengembangkan reaktor nuklir. Bahkan masyarakat Australia tidak mau limbah nuklir dibuang kembali ke wilayah Australia. Walaupun negara tersebut termasuk produsen nuklir terbesar, setelah Kanada, dan merupakan pemilik cadangan uranium terbesar di dunia. Lalu, kemana limbah nuklir PLTN di Indonesia harus disimpan?
Daerah yang secara geologis paling stabil di Indonesia hanyalah Kalimantan. Apakah masyarakat Kalimantan mau menerima limbah nuklir disimpan di lingkungan sekitarnya? Jika mereka menolak, kita tidak bisa mengembalikan ke negara produsen, karena warganyapun tidak mau limbah nuklir dibenamkan di negaranya. Dengan demikian, kebocoran reaktor dan penanganan limbah nuklir menjadikan opsi energi nuklir yang beresiko tinggi buat Indonesia dibandingkan negara lain.

Energi ramah lingkungan yang diperdebatkan
Para pendukung energi nuklir berpendapat bahwa sumber energi yang satu ini relatif tidak menghasilkan emisi buangan karbon dioksida. Pernyataan ini menjadi salah ketika energi yang digunakan untuk memproduksi energi nuklir juga dipertimbangkan. Sampai saat ini, dan sepertinya masih akan berlanjut, kegiatan penambangan, transportasi, dan proses uranium masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya. Seirama dengan menurunnya kualitas bijih uranium maka konsumsi bahan bakar fosil akan semakin meningkat. Oxford Research Group pada tahun 2006, memperkirakan, ‘net energy’ yakni selisih antara energi nuklir dan energi untuk memproduksi energi nuklir, menurun secara drastis setelah 2066. Hal ini berbanding terbalik dengan peningkatan drastis emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari setiap kilogram uranium pada kurun waktu yang sama. Sehingga, secara komprehensif, predikat nuklir sebagai ‘clean energy’ masih dalam perdebatan.
Ringkasnya, keputusan pengembangan energi nuklir di Indonesia terlalu prematur. Karena hal ini akan meningkatkan ketergantungan secara ekonomis maupun politis pada pihak asing, khususnya supplier uranium. Sementara, ‘capital costs’ yang dibutuhkan sangat tinggi menjadikan energi nuklir tidak ekonomis di Indonesia. Hal ini diperburuk oleh peningkatan harga uranium dunia yang berimplikasi pada peningkatan ‘operational cost’. Hal lainnya adalah kondisi geologi Indonesia yang tidak kondusif ditambah dengan masalah terorisme di Indonesia yang akan berimplikasi pada peningkatan resiko kebocoran, keamanan reaktor nuklir dan ‘waste management’. Sebaliknya, anggapan bahwa energi nuklir merupakan ‘clean energy’ masih dipertanyakan. Karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang rencana pengembangan reaktor nuklir di Indonesia sebelum menyesal di kemudian hari. Karena akan lebih pantas jika pemerintah mensubsidi program listrik tenaga surya daripada program yang tidak jelas maslahatnya bagi nusa dan bangsa.

Haruskah Subsidi BBM Ditiadakan?

Pemerintah Republik Indonesia berencana menaikkan harga bahan bakar minyak sekitar dua puluh hingga tiga puluh persen bulan Juni mendatang. Sudah diduga, kebijakan tersebut menuai protes dari banyak kalangan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di wilayah Jakarta dan sekitarnya bahkan mengancam bahwa ’reformasi jilid dua’ alias penggantian pemerintahan tanpa melalui pemilihan umum adalah taruhannya. Mayoritas elit politik di Senayan pun idem ditto dengan mahasiswa. Menurut para penentang, kebijakan macam ini sangat merugikan rakyat kecil juga usaha kecil. Sebaliknya, mereka menekankan fakta bahwa jajaran eksekutif belum banyak berbuat demi peningkatan produksi dan efisiensi produksi dan konsumsi bahan bakar minyak yang berujung pada ekonomi biaya tinggi. Di lain pihak, presiden dan jajarannya bergeming bahwa pengurangan subsidi BBM merupakan tindakan yang harus diambil demi kemaslahatan bangsa secara keseluruhan. Betapa tidak, dengan harga minyak sekarang saja menaikkan harga minyak tiga puluh persen akan menghemat kocek negara sekitar tiga puluh triliunan rupiah pengeluaran negara.

Cukupkah alasan untuk menolak kebijakan menaikkan harga minyak nasional? Sejauh manakah keputusan pemerintah tersebut bisa dipertanggung jawabkan? Tulisan ini berpendapat bahwa keputusan mengurangi subsidi bahan bakar minyak merupakan keputusan yang benar dan menguntungkan bangsa. Bahkan akan lebih efektif kalau subsidi macam ini ditiadakan sama sekali. Karena menghilangkan subsidi bahan bakar minyak secara gradual seperti ini tidaklah efektif dan menyebabkan akibat negatif yang berkepanjangan dan tidak tuntas.

Jika pemangkasan subsidi bahan bakar dikarenakan kondisi keuangan pemerintah yang deficit, maka sangatlah tepat jika menolak kebijakan tersebut dengan alasan pemerintah belum banyak mempromosikan produksi, penyaluran dan konsumsi minyak tidak efisien. Tentu tindakan di atas perlu dan wajib dilakukan pemerintah karena kenyataan menyatakan bahwa banyak yang dibisa dilakukan pemerintah untuk menghemat keuangan negara lewat efisiensi, penghematan, dan penggenjotan produksi. Akan tetapi penghapusan subsidi harus diletakkan pada konteks ketimpangan harga minyak dunia dan domestik yang berakibat pada berbagai macam persoal sosial dan ekonomi. Jika persoalan diletakkan pada prespektif ini, maka harga minyak dunia tidak melonjak karena Indonesia tidak mampu meningkatkan produksi, bukan juga karena kita tidak becus dalam menangani proses pembelian dan penyaluran minyak nasional yang bermuara pada ekonomi berbiaya tinggi. Dengan demikian, subsidi dilakukan untuk menjembatani gap antara harga minyak dunia dan lokal, dan bukan kompensasi terhadap inefisiensi rantai produksi dan distribusi minyak dalam negeri yang carut marut.

Penentangan itu juga mendapat justifikasi jika mempertimbangkan peran bahan bakar minyak sebagai faktor produksi yang utama yang berakibat langsung pada biaya operasional dunia usaha dan kebutuhan pokok sehari – hari. Kondisi perekonomian bangsa ini sangat rentan terhadap penerapan kebijakan sejenis ini. Alhasil kebijakan pemangkasan subsidi minyak ini merupakan tindakan benar yang tidak tepat waktu, tidak populer dan terkesan tidak pro rakyat. Dalam industri transportasi darat saja, misalnya, tiga puluh persen kenaikan harga bahan bakar minyak dipercaya meningkatkan biaya operasional sekitar dua puluh persen. Akibat yang lebih berat bakal menghempas masyarakat kalangan bawah yang mempunyai daya beli yang sangat rendah. Karena kebijakan ini secara langsung akan memangkas kemampuan mereka memenuhi kebutuhan harian mereka karena lonjakan harga barang dan jasa pasti mengiringi kenaikan harga minyak. Artinya, jumlah angka kemiskinan akan melonjak secara signifikan.

Hanya saja, alasan di atas menyiratkan suatu gambaran perekonomian bangsa yang semu. Contoh kecil seperti biaya produksi jasa angkutan yang ternyata lebih tinggi dari yang seharusnya, dan jumlah kemiskinan yang sejatinya lebih besar dari angka statistik yang menjadi acuan kita, menggambarkan absurditas asumsi – asumsi ekonomi negara ini. Data yang tidak valid dan menyesatkan menelurkan asumsi – asumsi pembangunan yang bias dan membiakkan spekulasi para rentenir. Karena itu, penghapusan subsidi minyak seharusnya dilakukan sebagai suatu upaya perbaikan masa depan perekonomian bangsa. Maksudnya, mengalihkan subsidi konsumsi dan mengarahkan pengalokasiannya kepada bidang – bidang yang sifatnya belanja modal dan investasi jangka panjang.

Pemerintah benar dalam stretegi penghapusan subsidi bahan bakar minyak. Sayangnya teknik menaikkan secara gradual sangatlah tidak efektif bahkan memberi akibat negatif yang lebih besar daripada menaikkannya sekaligus. Seharusnya, pemerintah menghapus secara permanen subsidi minyak dan mengalihkan dana tersebut kepada program – program yang lebih tepat sasaran dan tepat guna. Kebijakan radikal seperti ini memang menyakitkan dan menimbulkan gejolak yang sangat mengkhawatirkan, tetapi tidak lebih pahit daripada menaikkan secara perlahan – lahan. Ada perbagai pertimbangan untuk menaikkannya secara sekaligus, seperti yang akan dibahas di bawah ini.

Spekulasi, Penyalahgunaan, dan Kepanikkan
Perbedaan harga minyak antar kelompok konsumen dalam negeri maupun dengan pasar internasional menjadi memicu spekulasi, penyelundupan dan kepanikan di masyarakat. Para rentenir termasuk pengusaha minyak dan pedagang kebutuhan sehari - hari, memanfaatkan momentum pengumuman kenaikkan harga bahan bakar minyak untuk meraup keuntungan sesaat. Faktanya kenaikkan tiga puluh persen itu baru akan berlaku sebulan kemudian tetapi harga banyak barang kebutuhan telah melonjak naik. Artinya pada saatnya harga bahan bakar dinaikkan para spekulan akan menaikkan harga lagi. Sementara para pengusaha nakal mulai menimbun stok bahan bakar sampai satu bulan ke depan untuk mendapatkan margin keuntungan yang lebih besar. Tentu sangat menyenangkan menyetok sebulan dan mendapatkan keuntungan puluhan kali lipat dari keuntungan bunga simpanan di bank. Hasil spekulasi di atas menyebabkan masyarakat menderita apa yang diibaratkan ’sudah jatuh ketimpa tangga pula’. Kalau harga dinaikkan sekaligus tentu kenaikkan harga barang hanya terjadi sekali dan aksi penimbunan akan sangat merugikan pengusaha. Karena harga minyak dunia naik turun menyebabkan penimbunan malah menciptakan ketidakpastian usaha.

Menyamakan harga minyak nasional dengan harga minyak dunia juga mengurangi insentif penyalahgunaan minyak bersubsidi oleh mereka yang tidak berkepentingan dan penyelundupan minyak keluar negeri. Sudah merupakan rahasia umum bahwa banyak pengusaha nakal yang membeli minyak bersubsidi daripada membeli minyak untuk industri yang harganya jauh lebih mahal. Penyaluran minyak bersubsidi kepada industri dan penimbunan oleh pedagang adalah biang kerok kelangkaan minyak akhir – akhir ini. Situasi ini juga diperparah dengan penyelundupan minyak ke negara – negara tetangga yang harga bahan bakarnya dijual lebih tinggi. Dengan demikian subsidi lebih merugikan bangsa daripada menguntungkan rakyat banyak.

Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah bahwa kepanikan selalu menyertai setiap keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar. Sejak hari diumumkan, antrian panjang kendaraan dan kelangkaan bahan bakar hampir terjadi di seantero negeri. Kelangkaan terjadi karena masyarakat yang panik membeli melebihi suplai harian dari stasiun bahan bakar minyak. Disini prinsip keseimbangan antara supply dan demand tidak bekerja karena faktor external (externality), yakni rush. Artinya tanpa mengurangi stokpun permintaan yang demikian tinggi menyebabkan kelangkaan suplai. Dengan demikian pilihan menaikkan sekaligus lebih efektif daripada menaikkan harga bahan bakar secara berulang kali.

Efesiensi energi dan energi alternatif
Hal keempat yang menyokong keputusan pemerintah adalah harga bahan bakar yang murah dalam negeri tidak memberi insentif bagi penghematan energi dan pengembanan energi alternatif. Selama bahan bakar minyak masih disubsidi maka tidak ada tekanan untuk menggunakan energi secara hemat. Energi minyak yang murah juga tidak memicu kreativitas untuk mengembangkan sumber – sumber energi non-fosil. Sampai hari ini bahan bakar fosil lebih unggul dari sumber energi yang lain, karena ketersediaan infrastruktur dan harga produksi yang relatif rendah dari sumber energi lainnya. Keunggulan kompetitif ini menyebabkan bahan bakar minyak fosil tetap menguasai pasar energi. Misalnya, gembar – gembor etanol akhirnya surut karena ternyata biaya produksi jauh di atas biaya produksi energi konvensional. Harga biofuel hanya ekonomis jika harga minyak mentah dunia melebihi seratus dollar Amerika per barelnya. Harga produksi energi tata surya pun setali tiga uang mahalnya dibandingkan dengan harga energi yang diproduksi dengan bahan bakar fosil terutama minyak diesel.

Deversifikasi energi membutuhkan momentum untuk mengejawantah. Pengembangan sains dan teknologi yang memihak pada energi non-migas membutuhkan driving force yang melebihi kekuatan status quo yakni keunggulan mengkonsumsi energi migas saat ini. Para ahli manajemen berpendapat bahwa dua usaha bisa yang dilakukan yakni memperkuat tekanan untuk berubah dan atau terus menerus menggerogoti posisi status quo. Dalam tataran nasional, subsidi minyak membuat berbagai pihak menafikan urgensitas penghematan energi fosil dan pengembangan energi alternatif. Bahkan ada kesan falasi bahwa negara kaya minyak seperti Indonesia seharusnya tidak menerapkan harga minyak mahal. Kenyataannya kita telah menjadi negara pengimpor minyak. Menghilangkan subsidi berarti mengikis keunggulan bahan bakar minyak sebagai energi primadona peradaban dunia saat ini. Dengan demikian, memberi peluang untuk pengembangan sumber energi non-migas di sekitar kita.

Penghapusan subsidi juga menekan konsumen untuk berhemat dalam menggunakan energi dalam kehidupan sehari – hari. Fakta sehari – hari membuktikan bahwa porsi terbesar subsidi itu dinikmati oleh mereka yang tidak seharusnya disubsidi. Bahkan sepuluh persen rakyat miskin menikmati tidak lebih dari satu persen subsidi tersebut. Penghematan minyak akan terjadi ketika orang merasakan bahwa isi kantongnya terkuras akibat mengkonsumsi minyak secara tak terkontrol. Ada yang berargumen bahwa penerapan progressive tax dan kebijakan perpajakan lain bisa mengatasi hal ini; tetapi penghapusan subsidi lebih efektif dan tidak berliku – liku.

Resiko dan konsekuensi penghapusan subsidi
Isu akuntabilitas dan efektivitas pengalihan subsidi tetap menggantung di langit – langit pemikiran para pengkritik kebijakan perminyakan Indonesia. Situasi ini diperumit dengan kebrutalan penentang penghapusan subsidi minyak yang sering merujung pada anarki. Penangguhan subsidi bahan bakar minyak harus diiring dengan langkah – langkah kebijakan energi nasional yang strategik dan komprehensif. Tentunya masalah korupsi tetap menjadi tantangan utama pemerintah yang harus diatasi untuk memupuskan pengindentikan kebijakan tersebut dengan pengorbanan masyarakat kecil. Langka – langka strategik yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.

Pertama, alokasi dana kompensasi subsidi bahan bakar minyak kepada program – program yang menyentuh hajat hidup orang banyak dan bersifat jangka panjang. Program transportasi murah, cepat dan nyaman merupakan program pertama. Di samping itu, fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah bahkan gratis, berkualitas dan memadai merupakan pilihan berikutnya. Kenyataan menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi yang tidak memadai ditambah dengan industri angkutan umum yang tidak berkualitas dan mengorbankan hak konsumen adalah keluhan terbesar di negeri ini. Pendidikan dan pelayanan kesehatan murah kepada masyarakat kecil memang telah dikumandangkan, hanya seakan membentur dinding ketika masuk pada tataran implementasi. Diskriminasi terhadap pemegang askeskin adalah contoh kecil dari aplikasi pelayanan kesehatan yang tidak pro orang kecil. Pemerintah juga perlu mengembangkan program subsidi dan insentif bagi pemakaian energi alternatif. Misalnya, pemotongan pajak dan subsidi penggunaan energi bertenaga matahari perlu digalakkan di seluruh republik ini. Karena energi jenis ini tersedia sepanjang tahun dus ramah lingkungan.

Kedua, pemerintah mulai dari presiden harus memprakarsai program penghematan belanja negara di bidang energi. Tanpa mempergunjing perilaku para pejabat di pusat, kenyataan sehari – hari menunjukkan bahwa pejabat daerah tidak mempunyai sense of crisis ketika menggunakan kendaraan dinas. Setelah jam dinas kendaraan dinas dipakai oleh pejabat untuk urusan pribadi. Bahkan bukan pejabat tetapi juga kerabat atau rekan – rekannya. Akan terlihat santun jika kendaraan dinas hanya dipakai untuk kepentingan dinas. Selepas jam dinas kendaran dinas harus diparkir di gudang pemerintah bukan rumah pejabat. Dengan demikian rakyat mafhum akan kepedulian pemerintah terhadap penderitaan rakyat lantaran harga minyak yang mahal.

Ketiga, pemerintah perlu menerapkan sistem kebijakan publik yang terintegrasi. Penolakan keras terhadap kebijakan penghapusan subsidi minyak lebih dikarenakan kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap kemampuan pemerintah untuk mengelolah negara. Betapa tidak, SBY dan jajarannya pernah berjanji tidak lagi menaikkan harga minyak saat mengumumkan kenaikan sebelumnya. Masyarakat pun menyangsingkan kemampuan pemerintah untuk mengelolah secara efektif dan bertanggung jawab dana kompensasi subsidi bahan bakar minyak yang ada. Hal ini lebih dipekeruh lagi dengan kritikan – kritikan para pengamat yang menyoroti kegagalan eksplorasi, kebijakan dan kinerja industri perminyakan nasional yang sebenarnya tidak menyelesaikan masalah yang timbul dari kebijakan subsidi minyak sendiri. Kenyataan – kenyataan di atas perlu diklarifikasi oleh pemerintah lewat sistem public relation yang yang komprehensif seraya memastikan bahwa kebijakan pemerintah dapat dikawal sampai tingkat implementasi. Negara – negara yang tidak mensubsidi bahan bakar minyak ternyata tidak kesulitan menghadapi harga bahan bakar yang fluaktuatif setiap hari.

Secara umum, kebijakan pengurangan subsidi harga minyak adalah benar. Bahkan akan lebih tepat kalau dihapus secara langsung. Karena subsidi merupakan satu bentuk economic falacy yang menjadi penyebab spekulasi, penimbunan, penyelundupan, dan kepanikan. Bahkan subsidi minyak tidak memberi insentif penghematan dan pengembangan sumber – sumber energi alternatif. Sebaliknya pemerintah perlu mensubsidi program yang sifatnya investasi jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan dan perbaikan infrastruktur transportasi nasional. Karena subsidi sektor konsumtif hanya akan menguras keuangan negara tanpa memberi manfaat jangka panjang. Kata orang bijak, kalau mau sembuh jangan takut menenggak pil pahit. Bersakit – sakit dahulu bersenang – senang kemudian.

Pemimpin Bermental Bita Nahak

By Herman Seran

Hingar bingar proses pemilihan pemimpin NTT baik untuk level gubernur maupun bupati sedang mengekskalasi. Banyak pertanyaan tentang figur pemimpin ideal dambaan warga NTT. Secara sederhana figur dambaan itu adalah personifikasi kepribadian yang bermental ”Bita Nahak” meminjam tokoh dongeng masyarakat Malaka. Bagi mereka yang lahir di Belu Selatan, sewaktu dongeng masih masih merupakan hiburan malam hari, pasti akrab dengan tokoh dongeng wanita bermartabat Bita Nahak itu, yang biasanya dipertentangkan dengan Bukulasak, wanita rakus pemakan segala.
Al kisah, di suatu pesta pernikahan Bita Nahak dan Bukulasak mendapat kehormatan untuk hadir. Bita Nahak, walaupun sering kelaparan, karena jatah makannya selalu diambil Bukulasak (Tetun: hamukit), tetap tidak lupa daratan menyaksikan makanan pesta yang melimpah ruah. Pembawaan Bita Nahak tetap santun dan mengundang rasa hormat segenap undangan. Lain halnya, si Bukulasak, dengan semangat aji mumpung ia memakan apa saja yang disajikan, termasuk di tempat sirih – pinang (Tetun: kabir), yang secara adat istiadat peradaban itu merupakan suatu nista besar, jika dikembalikan dan isinya tidak genap, apalagi kosong. Saking rakusnya, Bukulasak lupa daya dukung perutnya sendiri, sehingga perutnya robek dan berserakkanlah segala isi perutnya. Akibatnya orangpun berkerumun untuk mengenali barang miliknya masing – masing yang dilahap sang Bukulasak.
Mental Bita Nahak dan Bukulasak adalah dua jenas kepribadian manusia yang bertentangan satu terhadap yang lain. Mental ”Bita Nahak” merupakan representasi mental berkelimpahan (abundant mentality) jika mengacu kepada klasifikasi penulis Seven Habits Daniel Coleman. Sebaliknya kepribadian Bukulasak berkorelasi dengan mental kekurangan (scarcity mentality). Mereka yang bermental miskin tega memakan apa saja tanpa perduli norma ataupun aturan yang berlaku, bahkan keselamatan nyawa sendiri. Ini berbeda dengan mereka yang bermental Bita Nahak yang selalu mawas diri dan tidak menghalalkan cara.
Ciri pemimpin bermental Bukulasak ini banyak ditemukan dalam keseharian orang NTT. Mereka yang jelas – jelas ketahuan merampok uang rakyat, masih tetap mengupayakan berbagai cara supaya dianggap bersih. Mereka juga adalah kelompok yang berusaha menggerogoti rakyat kecil, yang tidak berdaya seraya memperkokoh kelompok kepentingan, untuk memuaskan mental kerenya yang takkan pernah terpuaskan. Kelompok bermental miskin ini menjarah kedaulatan rakyat dan memberikannya kepada segelintir orang dan memanipulasi aspek – aspek demokrasi untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Dengan sendirinya, para pemimpin bermental Bukulasak ini sedang mengangkangi nilai – nilai demokrasi. Tegasnya, mereka sebenarnya sedang melakukan anarkhi dalam payung hukum atau legalitas seraya mengerangkeng para ahli waris kedaulatan yang sebenarnya, rakyat.
Bentuk – bentuk anarkhi para pemimpin itu tampil berupa kekuasaan elit dan politik uang. Mereka adalah kelompok elit yang memanfaatkan celah aturan, ketiadaan informasi dan kebodohan rakyat, bahkan membuat aturan sarat kepentingan untuk melanggengkan status quo. Contoh yang lagi hangat adalah usaha menggagalkan sistem pemilihan distrik murni dan keengganan mengakomodasi calon independen dalam rancangan undang - undang pemilu, yang sementara ini dibahas oleh elit partai di Senayan. Mereka juga tidak segan – segan melicinkan karir politik mereka dengan uang agar terpilih. Perlu diingat bahwa politik uang dan korupsi ibarat telur dan ayam yang susah ditentukan mana yang pertama.
Sudah saatnya Nusa Tenggara Timur dipimpin oleh para pemimpin berhati Bita Nahak, pemimpin bermental kaya walaupun hidup miskin. Pemimpin bermental Bita Nahak adalah pemimpin yang rendah hati namun tinggi harga diri. Pemimpin seperti ini tidak menjual murah kehormatan dan nama baik demi harta dan kekayaan. Memang, semua orang NTT harus membakar suluh nurani untuk menemukan pemimpin NTT yang bermental kaya yang sangat sulit didapati ini. Bukan karena semua orang NTT adalah orang miskin. Bukan pula karena kita dilahirkan di daerah yang katanya memiliki nasib tidak tentu yang hanya berharap nanti Tuhan tolong.
Kadar mental kaya dan mental miskin seseorang tidak ditentukan oleh banyaknya harta kekayaan yang dimiliki. Mengkuantifikasi psikologi manusia bukan hal yang mudah kalau tidak dikatakan tidak mungkin. Jika mental kelimpahan berbanding lurus dengan kekayaan, tentu para pejabat tidak akan berkorupsi karena pendapatan mereka lebih besar dari pegawai kecilan. Tapi fakta sehari – hari memperkuatan opini bahwa para koruptor adalah mereka yang punya kuasa besar, penghasilan besar, dan kehormatan besar. Bukan pegawai kecil yang paling banter korupsi waktu karena tidak jelas tugas dan fungsi yang digariskan atasannya. Penilaian seorang calon pemimpin bermental kelimpahan harus dimulai dari proses panjang kehidupan sosial dan ekonomi sang kandidat. Track record kehidupan seseorang, sekecil apapun, akan menyiratkan kepribadian orang tersebut, bukan pada penampilan sesaat selama masa kampanye.
Visi pemimpin Bita Nahak adalah pengembalian kedaulatan rakyat, yang telah direbut oleh elit politik and elit ekonomi, kepada masyarakat kebanyakan. Para pemimpin bermental kaya adalah orang – orang yang percaya bahwa semua kita dapat hidup dari sumber daya yang ada secara berkecukupan tanpa harus menggerogoti hak orang. Sehingga mereka adalah orang yang terus – menerus menyokong kehidupan yang berkeadilan sosial (promotion of justice) dan memperjuangkan hak orang – orang yang tidak mampu menuntut haknya sendiri (option to the poor). Mereka adalah orang – orang yang berani berkata tidak pada praktek – praktek yang mengkhianati prinsip hidupnya. Al hasil, sangat kerap mereka hidup termaginalisasi, karena melenceng dari pusaran utama kehidupan bermasyarakat.
Program apa saja yang diharapkan dari seorang pemimpin bermental Bita Nahak di NTT? Tanpa mengurangi pentingnya program lain, setidaknya ada empat program utama seorang pemimpin yang bermental kaya, yakni anti politik uang (money politics), mempropagandakan supremasi hukum, membuka akses ekonomi secara merata, dan menjadikan pengembangan sumber daya manusia sebagai pilar utama pembangunan.
Politik uang adalah biang kerok dari kemandulan dan pengebirian kedaulatan rakyat. Mengawali sesuatu dengan uang pasti muaranya pun adalah uang (rubbish in rubbish out). Lagi pula, secara keseluruhan politik uang sebenarnya tidak pernah menguntungkan pihak manapun, baik calon pemimpin maupun kontestuennya. Kualitas pribadilah yang pada akhirnya menentukan kesuksesan seseorang. Selain alasan idealisme, secara pragmatis, para calon yang bermain politik uang sebenarnya terperangkap dalam situasi dilema tawanan (prisoners’ dilemma). Dalam kondisi yang seimbang, politik uang hanya akan menguntungkan penerima uang (para penjual suara) bukan para pembeli suara. Karena pembeli suara akan berlomba –lomba menawarkan uang tertinggi untuk mendapatkan suara, tanpa mengetahui secara pasti berapa plafon tertinggi yang ditawarkan lawan politiknya. Sehingga pada gilirannya, kualitas pribadi calonlah yang akan menjadi faktor penentu kemenangan seseorang dalam pemilihan. Bukti yang paling jelas adalah pemilihan walikota Kupang beberapa waktu yang lalu, ketika calon - calon dengan kondisi keuangan yang lebih unggul ternyata kalah telak. Para pengamat mengakui bahwa kesuksesan Duo Dan lebih merupakan kontribusi kualitas pribadi daripada uang atau kontribusi mesin partai.
Hal kedua yang dilakukan pemimpin bermatabat yang dicari rakyat NTT adalah memberi contoh penegakkan hukum yang tidak pandang buluh. Pemimpin jenis ini sungguh – sungguh menjunjung tinggi prinsip ‘leading by example’ alias ing ngarso sung taulado meminjam filsafat kepemimpinan Ki Hajar Dewantara. Ia berani melepaskan jabatannya atau jabatan bawahannya jika dianggap melanggar hukum. Dan ia siap memulihkannya kembali setelah proses hukum menyatakan bebas dan memecatnya jika sungguh bersalah. Dosa para pemimpin bermental Bukulasak adalah berusaha saling melindungi walaupun jelas – jelas bersalah. Akibatnya rakyat menjadi apatis dengan proses hukum dan pada gilirannya membiakkan anarki berjamaah. Maka pemimpin impian NTT harus menjadi suri teladan penegakkan hukum yang adil tanpa embel – embel SARA.
Program berikut yang dilakukan sang pemimpin visioner itu adalah menciptakan peluang ekonomi yang sama bagi setiap warganya. Target politiknya adalah memberdayakan negara untuk menciptakan medan persaingan ekonomi yang seimbang untuk setiap pelaku ekonomi di wilayahnya. Ketimpangan akses dan kekuatan para pelaku ekonomi, justru diperparah dengan kolusi antara penguasa dengan segelintir pelaku ekonomi kuat, yang menyebabkan rakyat kecil tergencet dan mati secara perlahan – lahan. Para pemimpin Bukulasak tanpa sadar meruntuhkan sendi - sendi perekonomian daerahnya dengan memperkokoh satu mata rantai dan menggerus mata rantai yang lain. Mereka tidak sadar bahwa menggembosi perekonomian petani produsen, dengan membiarkan tengkulak menentukan harga komoditi seenaknya, sama dengan menghancurkan bangunan perekonomian secara keseluruhan. Pernyataan ini bukan isapan jempol karena kesetimbangan ekonomi dikontrol oleh dua variabel yang sama pentingnya, supply dan demand. Jika harga tidak menentu (lack of demand) maka petani pun tidak mempunyai insentif untuk berproduksi sehingga supply pun akan mati (lack of supply). Karena itu tugas pemimpin adalah mengawal kedua aspek ekonomi tersebut tanpa mengutamakan satu dari yang lain.
Agenda keempat dari seorang pemimpin Bita Nahak adalah mengembangkan sumber daya manusia yang produktif. Ia akan terus menerus menciptakan suasana kondusif bagi sikap kritis dalam pribadi – pribadi yang sehat jasmani dan rohani. Manusia yang kritis dan sehat mampu menghadapi kompleksitas kehidupan secara lebih mumpuni dibandingkan dengan warga negara yang kurang gizi dan lebih mengandalkan nafsu dan kecurangan. Untuk itu pendidikan berkualitas harus bisa dinikmati semua lapisan masyarakat. Sama halnya, fasilitas pelayanan kesehatan yang prima harus bisa dijangkau setiap orang. Secara praktis, ia akan mengalokasikan setidaknya sebagian besar porsi anggaran belanjanya untuk pengembangan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia yang berkualitas akan meningkat produktifitas per kapita secara signifikan. Contoh klasiknya dapat dilihat di banyak negara dimna kualitas sumber daya manusia berbanding lurus dengan pendapatan per kapitanya.
Keempat program di atas merupakan agenda utama para pemimpin berhati Bita Nahak yang sementara ini ditelisik, walau sangat sulit bak mencari jarum di antara tumpukan jerami. Catatlah, bahwa calon pemimpin masih bermain politik uang jangan berharap mendapatkan pemimpin yang bermartabat. Karena pada akhirnya, mereka tetap akan melakukan prinsip tebang pilih dalam penegakkan hukum tergantung siapa orangnya. Para pemimpin yang naik dengan uang pun akan tetap melindungi kroni – kroninya sehingga ketimpangan akses ekonomi tetap dilestarikan. Mereka bahkan tidak akan memikirkan pengembangan sumber daya manusia yang sifatnya jangka panjang. Karena bagi mereka persiapan dana untuk pemilihan lima tahun berikutnya bukanlah pilihan yang bisa ditawar - tawar. Para pemimpin bermental Bukulasak tanpa sadar membunuh dirinya sendiri dan masyarakat, dengan terus menerus melakukan praktek – praktek di atas. Karena itu, wahai segenap warga Nusa Tenggara Timur, mari menjadi Diogenes – Diogenes NTT untuk mencari pemimpin bermoral yang mampu membawa NTT keluar dari lingkaran setan pengkhianatan kedaulatan rakyat. Marilah bahu membahu mencari pemimpin yang mampu merebut kembali kedaulatan rakyat dari tangan kelompok – kelompok kepentingan dan memberikan kepada kita rakyat NTT sebagai pewaris sah kedaulatan dan pembangunan. Selamat mencari pemimpin NTT.